Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Risiko BPA, Riset Anyar YLKI Ungkap Bobrok Industri AMDK

        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) perlu banyak berbenah setelah riset anyar Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menunjukkan risiko Bisfenol A (BPA) bahan kimia yang bisa memicu kanker dan kemandulan—pada galon air minum yang beredar luas di masyarakat, antara lain berlatar buruknya penangangan galon di seluruh rantai distribusi, kata Koordinator Advokasi FMCG Insights, Willy Hanafi. 

        “Riset YLKI itu sebenarnya tamparan keras bagi industri dan asosiasi,” kata Willy. "Alih-alih sibuk melempar tudingan hoaks atau mengkritisi rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam mengesahkan peraturan pelabelan risiko BPA pada galon berbahan plastik keras polikarbonat, industri AMDK sebaiknya fokus membereskan pekerjaan rumah mereka sendiri." 

        Baca Juga: Dugaan Permainan Kartel Menguat Soal Polemik Minyak Goreng, YLKI Bersuara Lantang: Kami Mendesak...

        Bahkan, menurut Willy, temuan YLKI tersebut memperterang betapa industri abai untuk hal yang sangat mendasar dalam bisnis air kemasan. "Survei YLKI malah memunculkan kesan industri AMDK selama ini lebih sibuk mengejar keuntungan ketimbang menjaga kualitas air galon hingga ke tangan konsumen," katanya. 

        Akhir pekan lalu, YLKI membeberkan 61% pengangkutan air galon di Jakarta Raya tidak memenuhi syarat karena menggunakan kendaraan yang terbuka sehingga galon air terpapar sinar matahari langsung untuk waktu yang lama. 

        Di level pengecer, menurut survei lembaga kurun Februari-Maret, pelakuan galon juga tidak lebih baik. Selain pemilik toko tak pernah mendapat pendidikan dari produsen dan asosiasi industri ihwal cara penyimpanan galon yang benar, observasi menunjukkan lebih dari separuh toko, baik toko kelontong maupun gerai modern, memajang galon secara serampangan, termasuk meletakkan galon di area yang mudah terpapar sinar matahari. 

        Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, gambaran suram itu bukti industri selama ini bekerja tidak sesuai standar dan membahayakan konsumen. Galon yang terpapar sinar matahari, kata Tulus,  berisiko memicu peluluhan BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat. 

        "Pengangkutan galon tidak boleh lagi terpapar sinar matahari, harus tertutup," kata Tulus dalam sebuah pemaparan daring, Jumat (18/3/2022). 

        Potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat termasuk yang mendorong BPOM menyiapkan sebuah rancangan peraturan pelabelan risiko BPA. Dalam rancangan BPOM—draftnya telah memasuki proses pengesahan di Sekretariat Kabinet—produsen air galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat wajib mulai mencantumkan label "Berpotensi Mengandung BPA" kurun tiga tahun tiga tahun sejak peraturan disahkan. Sementara produsen galon yang menggunakan kemasan berbahan polyethylene terephthalate (PET), plastik lunak sekali pakai yang bebas BPA, diperbolehkan mencantumkan label "Bebas BPA".

        Menurut Willy, pengesahan aturan BPOM bakal menghadirkan iklim kompetisi yang lebih sehat, dimana industri secara keseluruhan ditantang untuk menghadirkan produk galon air minum yang lebih sehat. "Faktanya di pasar saat ini sudah relatif banyak tersedia pilihan produk galon air minum yang lebih sehat kemasannya," katanya menepis tudingan industri bahwa pelabelan BPA bakal memicu persaingan usaha, keresahan publik dan aneka persoalan lainnya. 

        Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia, Saut Marpaung, mengungkap hal senada. Menurutnya, sekitar 20% produk galon guna ulang yang beredar di pasar saat ini telah menggunakan kemasan PET yang bebas BPA. 

        "Belum lama ini, anggota kami di daerah mendapati bukti market leader industri AMDK telah beralih ke galon guna ulang berbahan plastik PET yang bebas BPA dari sebelumnya hanya menggunakan galon berbahan plastik PC," katanya.

        Sekaitan itu, Tulus Abadi, mendorong BPOM untuk mempublikasikan hasil penelitian uji post-market migrasi BPA 2021-2022 atas fasilitas produksi dan distribusi galon plastik keras di seluruh Indonesia. "Masyarakat berhak tahu sudah sejauh mana level migrasi BPA pada air galon yang banyak beredar di pasar, apakah masih di bawah ambang berbahaya atau sebaliknya," katanya dalam sebuah acara bincang-bincang membahas hasil survei YLKI di radio berbasis Jakarta, KBR. 

        Berbicara dalam talkshow yang sama, Arzeti Bilbina, anggota Komisi IX DPR, mendesak produsen galon air minum memperbaiki standar distribusi demi menjaga kualitas produk yang sampai ke tangan konsumen. "Itu bagian dari tanggung jawab mereka sebagai produsen," katanya.

        Bila perlu, Arzeti bilang pemerintah bisa mengkondisikan agar galon yang berbahan plastik keras polikarbonat tidak lagi beredar di pasaran. "Itu merusak tumbuh kembang anak-anak Indonesia, kalau bisa langsung 'BPA Free' saja," katanya.

        Pada 30 Januari 2022, sebagaimana dilaporkan oleh Kantor Berita Antara, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, mengungkap bahwa pihaknya menemukan "sejumlah kecenderungan mengkhawatirkan" terkait luluhnya BPA pada galon guna ulang yang berbahan polikarbonat. Penemuan itu, menurut laporan tersebut, berdasarkan uji sampel post-market yang dilakukan BPOM selama periode 2021- 2022 di seluruh Indonesia. Hasilnya adalah kelompok rentang bayi (usia 6-11 bulan) berisiko terpapar BPA 2,4 kali dari batas aman sementara anak-anak (usia 1-3 tahun) 2,12 kali.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: