Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Tarif Impor AS Naik, Bagaimana Nasib Industri Manufaktur RI?

        Tarif Impor AS Naik, Bagaimana Nasib Industri Manufaktur RI? Kredit Foto: Instagram/Donald Trump
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap produk Indonesia tak pelak memicu kekhawatiran di kalangan ekonomi dan legislatif.

        Dalam keterangannya, Anggota Komisi XI DPR RI, Marwan Cik Asan, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis guna mengantisipasi dampaknya terhadap perdagangan dan industri dalam negeri.

        Dia menilai jika kebijakan tersebut berpotensi untuk melemahkan daya saing produk ekspor utama Indonesia, termasuk di antaranya alas kaki, mesin dan peralatan listrik, garmen, minyak nabati, serta produk perikanan. Dengan meningkatnya harga produk Indonesia di pasar AS, permintaan diperkirakan akan menurun, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan sektor manufaktur dalam negeri.

        “Peningkatan tarif ini akan menyebabkan harga barang asal Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang berpotensi mengurangi daya saing produk-produk tersebut,” ujar Marwan di Jakarta, Kamis (3/4/2025).

        Tak hanya berdampak pada industri ekspor saja, kebijakan tersebut dikhawatirkan juga dapat memengaruhi nilai tukar rupiah, harga emas, serta neraca perdagangan Indonesia dengan AS. Pihaknya juga mencatat bahwa industri pengolahan yang bergantung pada ekspor menyerap sekitar 13,28% tenaga kerja pada tahun 2023, sehingga dampaknya bisa dirasakan oleh jutaan pekerja.

        Kendati dampak langsung dari kebijakan AS itu terhadap Indonesia diperkirakan lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lain seperti China, Jepang, dan Vietnam, Marwan menegaskan bahwa potensi dampak tidak langsung juga perlu diwaspadai. 

        Jika ekspor negara mitra dagang utama Indonesia seperti China dan Jepang ke AS berkurang akibat tarif baru ini, maka permintaan mereka terhadap produk Indonesia juga bisa ikut menurun.

        "Kondisi ini berisiko menghambat pertumbuhan sektor industri dalam negeri yang bergantung pada rantai pasok global," kata Marwan.

        Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia sebesar 11,97 miliar dolar AS pada 2023 dan meningkat menjadi 16,08 miliar dolar AS pada 2024. Namun, angka ini masih lebih kecil dibandingkan defisit AS terhadap China, Jepang, dan Vietnam.

        Maka dari itu, guna meredam dampak kebijakan tersebut, Marwan menyarankan agar pemerintah segera mengadopsi strategi mitigasi yang mencakup diversifikasi pasar ekspor. Serta, mengurangi ketergantungan pada AS dengan memperluas hubungan dagang ke negara lain, seperti Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, dinilai sebagai langkah krusial.

        Selain itu, kebijakan insentif pajak dan subsidi bagi industri terdampak juga perlu dipertimbangkan untuk menjaga daya saing sektor manufaktur. 

        “Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi prioritas, dengan Bank Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan cadangan devisa serta menerapkan kebijakan intervensi pasar guna menghindari volatilitas yang berlebihan,” imbuhnya.

        Tak hanya itu, dia juga menekankan pentingnya diplomasi perdagangan dengan AS untuk mengamankan pengecualian tarif bagi beberapa produk ekspor utama Indonesia atau memperbarui program Generalized System of Preferences (GSP), yang memberikan akses istimewa bagi produk-produk Indonesia di pasar AS.

        Baca Juga: Siap Perang Dagang, Trump Ancam Tarif Impor Lebih Besar untuk Uni Eropa dan Kanada

        Baca Juga: Program PSR Sebagai Upaya Mendukung Keberlanjutan Kelapa Sawit

        “Dengan pendekatan yang mencakup diversifikasi pasar, kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif, serta diplomasi perdagangan yang proaktif, saya yakin Indonesia dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi dan mempertahankan pertumbuhan di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompleks,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Istihanah

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: