Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Muhammad Yunus: Pejuang Pemberantas Kemiskinan Melalui Grameen Bank

Muhammad Yunus: Pejuang Pemberantas Kemiskinan Melalui Grameen Bank Kredit Foto: Nytimes.com
Warta Ekonomi, Jakarta -

Apalah arti pendidikan jika ilmunya tidak dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah yang nyata-nyata diderita masyarakat banyak? Kurang lebih pertanyaan itulah yang terngiang-ngiang di benak seorang Muhammad Yunus ketika ia baru kembali ke negaranya, Bangladesh, setelah mengantongi gelar doktor (Doctor of Philosophy atau Ph.D.) di bidang ilmu ekonomi dari Vanderbilt University di Tennessee, Amerika Serikat. Tidak hanya itu, ia juga sudah memiliki pengalaman sebagai asisten profesor di Middle Tennessee State University.

Perang saudara antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang berujung pada kemerdekaan wilayah Pakistan Timur dan lahirnya negara baru bernama Bangladesh pada tahun 1971 adalah peristiwa yang memanggil seorang Yunus untuk kembali ke tanah kelahirannya. Sewaktu masih di Amerika Serikat ia juga aktif menggalang dukungan untuk kemerdekaan Bangladesh sebagai negara baru.

Pada tahun 1974 Yunus yang saat itu berusia 34 tahun memutuskan pulang. Ia membawa ilmu ekonomi tingkat tinggi yang mengandung banyak filosofi dan teori dilengkapi dengan bahasa matematika yang tidak mudah pula. Yang lebih penting, ia pulang dengan membawa semangat untuk turut aktif membangun bangsa dan negaranya. Semangat itulah yang memberinya energi untuk berpikir keras mencari solusi bagi bangsanya yang pada saat itu masih didera masalah kelaparan. Wajah kemiskinan yang sangat nyata dan akut tersebut sangat mengganggu hati nuraninya. Dalam prosesnya mencari solusi, ia berakhir pada kesimpulan bahwa hampir semua teori ekonomi kompleks yang ia pelajari bertahun-tahun tidak dapat digunakan untuk mengatasi masalah kemiskinan akut tersebut.

Akhirnya, Yunus memulai kembali proses belajarnya. Ia mencoba memahami masalah kemiskinan melalui observasi dan turun langsung ke lapangan. Bersama mahasiswanya ia mewawancarai masyarakat miskin di Desa Jobra, dekat Universitas Chittagong tempat ia mengajar dan menjabat sebagai Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Perdesaan. Kaum perempuan yang dalam budaya Bangladesh saat itu kurang memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan ekonomi rumah tangga pun turut diwawancarai.

Melalui observasi lapangan tersebut, Yunus menemukan bahwa bahwa mayoritas masyarakat miskin, termasuk ibu-ibu pembuat kerajinan bambu yang ia temui, memiliki pinjaman kepada lintah darat lokal yang dapat memberikan pinjaman dengan bunga sekitar 10% per minggu atau 520% per tahun. Yunus spontan berpikir, jika saja masyarakat miskin tersebut memiliki akses terhadap pinjaman yang menawarkan suku bunga lebih wajar tentu mereka dapat mengalokasikan pendapatan untuk keperluan lain yang lebih baik bagi kesejahteraan rumah tangga mereka.

Berangkat dari temuan awal tersebut, Yunus pun melanjutkan proses belajarnya dengan mengajak mahasiswanya membuat daftar anggota masyarakat miskin yang sedang terjerat utang kepada lintah darat. Akhirnya, didapat 42 orang. Jika dijumlahkan, total utang mereka hanya sekitar US$27.

"Ternyata jumlah uang yang membuat masyarakat miskin di sini selamanya terjerat utang amatlah kecil," ujar Yunus dalam hati.

Tak perlu berpikir panjang, ia segera membantu mereka agar bebas dari jeratan utang. Berhubung total utang mereka hanya US$27, Yunus dengan gampang merogoh kantongnya sendiri untuk membebaskan orang tersebut dari utang.

Setelah peristiwa itu, masyarakat setempat mulai memandang Yunus secara berbeda. Yunus dipandang bak malaikat yang dikirim dari langit. Mengamati fenomena tersebut, Yunus kembali berpikir, "jika untuk menjadi malaikat hanya dibutuhkan uang US$27 tentu akan menyenangkan jika bisa membantu lebih banyak lagi. Mungkin kita bisa menjadi malaikat super."

Namun, sebagai seorang profesor Yunus tidak ingin membantu dengan cara menderma seperti yang baru saja ia lakukan. Ia lantas meneruskan proses berpikirnya untuk mendapatkan solusi yang lebih holistik dan sistematis. Solusi untuk menyediakan kredit atau pinjaman bagi orang miskin pun terlintas di kepalanya. Dengan semangat dan optimisme bahwa ide "brilian" tersebut akan disambut positif, ia menemui beberapa kolega bankirnya dan mengajak mereka menyalurkan kredit untuk masyarakat miskin.

Di luar dugaan ide yang dipikirnya jenius itu ternyata dipandang tidak masuk akal, bahkan gila, oleh semua bankir yang ia temui.

"Orang miskin itu tidak creditworthy, tidak layak mendapatkan kredit perbankan karena tidak akan mampu memenuhi salah satu syarat utama, yaitu memiliki aset berharga untuk dijadikan jaminan," itulah keyakinan para bankir saat itu. Orang miskin tidak memiliki jaminan sehingga dianggap berisiko tinggi dan tidak layak memperoleh kredit.

Yunus tidak puas. Ia merasa sistem yang ada saat itu tidak adil dan perlu diperbaiki. Yunus membawa ide yang sama ke tataran pengelola bank yang lebih tinggi, dari manajer sampai ke level direksi. Namun, jawaban yang ia terima selalu sama: orang miskin terlalu berisiko sehingga tidak layak mendapatkan kredit perbankan.

Setelah menjalani berbagai perdebatan yang berakhir pada penolakan idenya, Yunus akhirnya bersedia mengalah dan menyesuaikan dengan sistem perbankan yang ada. Ia menawarkan dirinya yang merupakan seorang profesor perguruan tinggi dan memiliki gaji bulanan cukup besar sebagai penjamin. Kasarnya, Yunus yang mengajukan pinjaman kepada bank dalam jumlah besar, kemudian dana tersebut ia salurkan kepada masyarakat miskin dalam bentuk produk keuangan yang disebut kredit mikro. Skenario tersebut akhirnya dapat diterima oleh bank. Yunus pun bisa mulai merealisasikan ide yang ia yakini akan dapat membantu orang miskin dalam menolong diri mereka sendiri (helps the poor to help themselves).

Menyadari bahwa masyarakat miskin tidak memiliki jaminan serta mayoritas tidak bisa membaca dan menulis, Yunus mengawali langkahnya dengan keyakinan bahwa sesungguhnya setiap orang dilahirkan dengan potensi yang sama besarnya, hanya saja berada di lingkungan pendukung yang berbeda. Akibatnya, tidak semua orang dapat mengaktualisasikan potensi diri mereka yang sesungguhnya. Ia yakin si miskin pun pasti memiliki bakat atau keterampilan yang berpotensi ekonomi.

"Everybody is born with the same potential, but not everybody lives in environment that enables them to unleash their true potential," ujarnya dengan yakin.

Yunus juga menganalogikan bahwa orang miskin itu ibarat pohon bonsai yang sebenarnya merupakan pohon besar, tetapi sengaja dikerdilkan dengan cara memaksa bibit pohon untuk tumbuh di pot yang kecil.

Kurang lebih selama tiga tahun (1976?1979) Yunus mencoba dan mengevaluasi idenya melalui sebuah proyek kredit mikro untuk orang miskin (banking for the poor). Ternyata hasilnya benar-benar dapat mematahkan pesimisme para bankir yang pada awalnya mencemooh idenya. Memang benar orang miskin tidak memiliki jaminan, namun ternyata orang miskin di pedesaan memiliki modal sosial berupa rasa solidaritas yang tinggi. Modal sosial tersebutlah yang oleh Yunus digunakan sebagai jaminan di dalam metode penyaluran kredit mikronya.

Yunus merancang agar setiap pemohon pinjaman terlebih dulu membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Anggota-anggota kelompok tidak dapat meminjam secara bersamaan, tetapi harus secara bergiliran. Anggota lain hanya bisa meminjam jika anggota yang meminjam lebih dulu telah dapat membuktikan kedisiplinan dan kejujurannya dalam membayar cicilan. Selain itu, ada pula mekanisme tanggung renteng. Dalam mekanisme ini, jika seorang anggota kelompok sedang dalam kondisi tidak bisa membayar cicilan, anggota lainnya akan patungan untuk membayarkan cicilan si anggota yang sedang mengalami kesulitan tersebut. Setiap pinjaman pertama hanya boleh dipergunakan untuk tujuan produktif atau mendukung usaha.

Dalam penyaluran kredit, Yunus merancang agar proyeknya juga memiliki preferensi kepada perempuan. Hal ini adalah praktik tidak umum di Bangladesh yang secara sosial masih mengalami ketimpangan gender. Ketimpangan ini tercermin pada penyaluran kredit perbankan untuk perempuan yang kurang dari 1% total pinjaman bank. Dengan cakupan program 500 orang, hasil percobaannya menunjukkan tingkat pengembalian yang tinggi, yaitu sekitar 99%. Angka ini lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pinjaman komersial perbankan pada umumnya.

Pada tahun 1981 Yunus ingin memperbesar skala proyeknya. Selain untuk memperluas manfaat, ia juga ingin menguji apakah model yang ia ciptakan itu dapat tetap efektif jika skalanya diperbesar (scalable model). Gajinya sebagai profesor tentu terbatas. Jika mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, ia tidak akan dapat meminjam dana ke bank dalam jumlah yang jauh lebih besar. Akhirnya, ia menggalang dana dari beberapa lembaga donor besar, salah satunya adalah Ford Foundation yang pada 1981 memberikan bantuan sebesar US$770.000 yang perjanjian peruntukannya adalah sebagai dana jaminan pinjaman (loan guarantee fund). Yunus pun kemudian dapat dengan gagah kembali datang ke bank untuk mendapatkan pinjaman karena sudah memiliki komitmen dana dari Ford Foundation yang bisa dijadikan jaminan. Dengan tambahan dana yang ada, Yunus dapat menjangkau lebih dari 10.000 peserta. Tingkat pengembalian kredit mikro yang disalurkan pun terbukti konsisten sangat tinggi, yaitu sekitar 99%.

Setelah berhasil membuktikan bahwa metode penyaluran kreditnya efektif, aman (tidak berisiko tinggi seperti yang diyakini para bankir), dan dapat diperbesar skalanya (scalable), Yunus ingin memformalkan proyeknya menjadi suatu lembaga perbankan yang legal. Ia lantas mengadvokasi pemerintah agar mengeluarkan peraturan khusus untuk menjadi landasan berdirinya sebuah bank yang bertujuan memberdayakan masyarakat miskin yang ia beri nama Grameen Bank. Hal ini diperlukan karena praktik operasi bank yang akan didirikannya bertolak belakang dengan praktik perbankan pada umumnya. Jika tidak ada landasan hukum baru, operasi Grameen Bank sudah hampir pasti akan melanggar banyak peraturan perbankan yang sudah ada.

Kebanyakan bank beroperasi di kota, Grameen Bank di desa. Semua bank mengharuskan ada jaminan sebelum meminjam, Grameen Bank tidak. Semua bank lebih menyukai nasabah yang kaya, Grameen Bank lebih menyukai nasabah yang miskin, malah semakin miskin semakin ingin diberdayakan oleh Grameen Bank. Mayoritas bank menyasar segmen laki-laki, Grameen Bank menyasar segmen perempuan. Semua kondisi tersebut menunjukkan bahwa praktik Grameen Bank benar-benar berbeda sehingga membutuhkan dasar hukum sendiri.

Perjuangannya membuahkan hasil. Pada tahun 1983 pemerintah Bangladesh mengeluarkan semacam undang-undang khusus yang mendasari berdirinya Grameen Bank. Di dalamnya diatur skema kepemilikan, sekitar 94% dimiliki oleh anggota atau pemanfaat Grameen Bank dan 6% dimiliki oleh pemerintah Bangladesh. Dengan adanya landasan hukum yang mendasari pendirian Grameen Bank secara legal, proyek kredit mikro yang digagas oleh Muhammad Yunus telah bertransformasi menjadi sebuah organisasi usaha legal bonafide yang memiliki misi sosial. Sejak itu, jalan Grameen Bank untuk menjalin kerja sama menjadi lebih lancar karena berbagai pihak menjadi lebih yakin bahwa Grameen Bank bukanlah sebuah organisasi abal-abal.

Sejak awal pendirian sampai awal tahun 1990-an, Grameen Bank banyak didukung oleh kerja sama pendanaan berbasis hibah atau pinjaman rendah yang suku bunganya di bawah harga pasar. Setelah berhasil menunjukkan rekam jejak yang baik selama lebih dari 10 tahun, Grameen Bank mulai menggalang dana ekspansi usaha melalui penjualan obligasi yang secara implisit disubsidi oleh pemerintah berupa fasilitas penjaminan.

Jadi, Pemerintah Bangladesh tidak memberikan dana agar suku bunga obligasi Grameen Bank dapat dijual lebih murah, melainkan menyediakan "dana siaga" yang siap digunakan jika Grameen Bank mengalami kebangkrutan. Fasilitas penjaminan semacam ini sangat membantu Grameen Bank dalam meyakinkan banyak pihak untuk membeli obligasi perusahaannya.

Setelah pengeluaran obligasi tersebut, sumber dana Grameen Bank yang berasal dari dana-dana sosial (hibah atau pinjaman lunak) pelan-pelan menghilang dan semakin didominasi oleh sumber dana komersial. Hal ini karena perputaran usaha Grameen Bank sudah mumpuni. Begitu pula dengan kepemilikan asetnya yang kian besar sehingga memiliki cukup kekayaan yang bisa diagunkan.

Grameen Bank juga mulai memiliki anak-anak perusahaan yang mendukung penghidupan anggotanya, seperti Grameen Telecom yang menyediakan produk telekomunikasi berharga terjangkau, dan Grameen Shakti yang menyediakan fasilitas listrik, kompor, biogas, dan pupuk organik untuk meningkatkan kualitas hidup dan usaha jutaan anggotanya.

Dengan bermodalkan semangat, keyakinan, kesabaran, dan konsistensi, pada tahun 2013 Grameen Bank sudah memiliki 2.914 cabang, hampir 22.000 orang karyawan, 8,54 juta anggota, dan total aset sekitar US$2,3 miliar. Tingkat pengembalian kreditnya pun dapat terus dijaga di atas 95%. Melihat perjuangan dan pencapaiannya, sungguh wajar jika Komite Nobel Perdamaian Dunia menganugerahkan Nobel Perdamaian 2006 padanya. Pengakuan tersebut sangat membantu penyebaran lembaga keuangan mikro seperti Grameen Bank ke seluruh penjuru dunia. Terakhir terpantau Grameen Bank sudah memiliki 168 replikan di 44 negara, termasuk Amerika Serikat dan Kanada.

Kisah Grameen Bank ini adalah contoh nyata bahwa negara berkembang tidak selalu menyerap ilmu dan inovasi dari negara maju. Metode yang diciptakan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank adalah bukti bahwa negara berkembang juga bisa membantu negara maju melalui inovasinya.

Saat ini Muhammad Yunus sudah berusia 74 tahun. Ia masih terus bersemangat mempromosikan kewirausahaan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Ia percaya bahwa yang dilakukannya adalah suatu proses membantu orang lain untuk mencapai kebahagiaan hidup yang lebih baik.

"Making money is happiness but making other people happier, is super happiness,"?ujar Muhammad Yunus dalam sebuah konferensi kewirausahaan sosial yang diselenggarakan oleh Sinergi Indonesia di Cibubur, pada 2014 lalu.

Mungkin itu sebabnya Muhammad Yunus tidak tampak bertambah tua sejak 10 atau 20 tahun lalu walau kegiatannya sungguh banyak dan pasti melelahkan. Ia selalu bahagia karena mencintai apa yang ia kerjakan. Ia juga selalu bersemangat karena yakin melalui keuangan mikro yang ia perjuangkan, kemiskinan absolut dapat dijadikan sejarah. "Poverty does not belong in a civilized human society. It belongs in museums," demikian ucapnya di berbagai forum dengan penuh keyakinan.

Sumber: Buku?Berani Jadi Wirausaha Sosial?

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: