Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon mengatakan anjloknya harga gabah di sejumlah sentra produksi beras seharusnya segera menggerakkan pemerintah untuk menolong para petani, apalagi anjloknya harga gabah petani itu salah satunya dipicu oleh pembukaan keran impor beras oleh Kementerian Perdagangan awal Januari lalu.
“Seperti yang sudah kami ingatkan, impor beras menjelang panen raya Februari mendatang ini memang hanya akan merugikan para petani kita saja. Menurut informasi yang saya baca, baik di Sumatera maupun di Jawa, misalnya, harga gabah petani jatuh bervariasi sebesar antara Rp600 hingga Rp800 per kilogram. Semula harganya bisa Rp5.200 hingga Rp6.300, kini turun menjadi Rp4.400 hingga Rp5.200 saja,” kata Fadli dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Di sisi lain, katanya, mulai awal tahun ini pemerintah justru akan mencabut pemberian subsidi benih yang potensial menaikan harga benih di tingkat petani. Akumulasi semua persoalan ini bisa memberikan pukulan dua kali bagi petani. Di sisi input mereka kini terancam mengeluarkan ongkos lebih mahal, sementara di sisi output harga hasil produksi mereka justru jatuh.”
“Seperti kita ketahui, mulai tahun ini pemerintah memang akan mengganti sistem subsidi benih menjadi program pemberian benih gratis. Dari sisi anggaran memang tak banyak berubah, anggarannya tetap sekitar Rp1 triliun, namun implikasinya bisa jauh berbeda. Tidak akan ada lagi benih murah di pasar. Apalagi, dari sekitar 17 juta hektar lahan padi yang kita miliki, pemberian benih gratis hanya akan mencakup 3 juta hektare lahan padi saja. Bisa dipastikan, kondisi ini akan membuat ongkos produksi petani semakin melonjak,” kata Wakil Ketua DPR ini.
Fadli berharap pemerintah ikut menolong petani. Melalui Bulog, pemerintah seharusnya bisa membeli gabah petani pada tingkat harga komersial, agar petani tak kian mengalami demoralisasi dengan profesinya. "Untuk itu, saya kira pemerintah perlu untuk segera mengembalikan fungsi Bulog seperti dulu, sebagai badan pangan strategis, sebelum fungsi itu dipreteli oleh IMF pada 1998," katanya.
“Letter of Intent (LoI) dengan IMF pada 1998 memang telah menjadi biang keladi munculnya kartel dalam industri pangan, karena sejumlah komoditas strategis tata niaganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Coba bayangkan, sejak itu bea impor produk pertanian baik pangan maupun non-pangan menjadi tinggal nol dan lima persen. Akibatnya, LoI telah mengubah orientasi kebijakan pemerintah dari sebelumnya berorientasi swasembada menjadi berorientasi impor pangan,” katanya.
Kalau mau jujur, katanya, penyebab turunnya produktivitas pertanian dan meningkatnya defisit neraca perdagangan untuk pertanian adalah kebijakan tata niaga pasca-LoI IMF itu.
Kebijakan tata niaga tidak lagi menghiraukan nasib petani ataupun memberi perlindungan terhadap sektor pertanian dalam negeri. Akibatnya, Bulog tak mampu lagi menjaga mekanisme pasar, harga atas, manajemen stok, dan harga dasar. Resep LoI yang dimintakan IMF kepada Indonesia menjadi gerbang pembuka rusaknya tata niaga pangan.
Jika pemerintah memang benar-benar serius ingin berswasembada pangan, menurut Fadli, seharusnya mereka segera merevitalisasi fungsi Bulog. Bila perlu, pemerintah juga mengaktifkan kembali Menteri Negara Urusan Pangan. Sebab, selama ini Kementerian Pertanian posisinya sangat tanggung, karena semua urusan tata niaga pangan dipegang oleh Kementerian Perdagangan.
"Tanpa ada revitalisasi Bulog, atau pengaturan kebijakan pangan di tangan satu kementerian, saya kira semua wacana tentang swasembada pangan hanya akan jadi omong kosong saja. Pemerintah akan kesulitan untuk menolong petani sendiri,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil