Fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional mengacu pada pemahaman yang ketinggalan zaman tentang ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dimaksud pemerintah hanya dimaknai sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.
Anggota Dewan Pembina Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Arianto A. Patunru, menuturkan bahwa sejak pertengahan 1990-an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu (keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan.
"Kedua dimensi ini mencerminkan sisi permintaan keamanan pangan dan hal ini yang diabaikan pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan,” jelas Arianto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Konsepsi keamanan pangan ini menunjukkan bahwa solusi yang lebih efektif untuk masalah ini adalah meningkatkan persaingan di pasar pangan domestik. Persaingan yang dimaksud adalah mengarah pada kemajuan teknologi, peningkatan kualitas makanan, dan penurunan harga.
Persaingan di pasar pangan domestik dan peningkatan ketersediaan pangan membuka peluang terciptanya pasar dan juga impor yang lebih murah. Para elit politik di Indonesia sebagian besar mengabaikan pentingnya impor untuk mencapai ketahanan pangan. Mereka memiliki pemahaman yang salah kalau impor adalah penyebab tidak tercapainya ketahanan pangan. Sejumlah undang-undang bahkan menetapkan impor hanya diperbolehkan ketika suplai domestik tidak cukup.
Menurut Arianto, tidak ada pemerintahan yang berhasil merencanakan produksi dan konsumsi secara akurat untuk seluruh negeri, apalagi sebuah negara dengan populasi yang sangat besar seperti Indonesia.
“Ketika harga pangan di tingkat domestik melambung, pemerintah akhirnya mengizinkan impor bahan pangan. Namun para importir harus melalui proses perizinan yang rumit yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah. Penundaan yang disebabkan oleh proses ini telah mengakibatkan kerugian Rp303 miliar atau setara dengan US$22 juta untuk pembayar pajak Indonesia sejak tahun 2010,” jelas mantan Kepala Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen Universitas Indonesia (LPEM UI) periode 2009-2012 ini.
Ia mengatakan bahwa harga daging sapi, beras, dan beberapa komoditas lainnya di Indonesia telah melambung di atas harga pasar internasional. Harga makanan eceran seringkali jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di negara tetangga dan negara yang jauh lebih kaya. Harga yang tinggi ini sudah membebani konsumen sekitar US$98 miliar antara 2013 hingga 2015, bahkan melebihi jumlah pungutan Kebijakan Pertanian Bersama Uni Eropa pada konsumen Eropa.
Selain melambungnya harga pangan yang memberatkan konsumen, petani justru tidak mendapatkan keuntungan dari hal ini. Sebanyak 2/3 dari petani Indonesia adalah konsumen yang terkena dampak dari tingginya harga pangan. Mereka yang terdampak adalah para petani skala kecil yang memegang kurang dari 0,25 hektar lahan di Jawa Tengah dan hanya menghasilkan Rp500.000 atau sama dengan US$36,35 per orang per bulan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Ratih Rahayu