Nilai Ekonomi Kekayaan Laut
Perairan Natuna bak gadis yang selalu diperebutkan. Apalagi setelah Pemerintah Indonesia memprotes China yang membiarkan nelayannya mengambil ikan di kawasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Protes dari Pemerintah Indonesia ini adalah wujud komitmen dan kesungguhan pemerintahan Jokowi untuk selalu menjaga sumber daya laut Indonesia dari siapapun. Tak peduli negara superpower.
Kenapa selalu diperebutkan? Tak lain karena kandungan nilai ekonomi dari kekayaan biota laut yang begitu dahsyat. Dalam laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perairan di kawasan laut itu memang menyimpan beragam biota laut. Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan masuk dalam Wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia (WPNRI) yang sama berkode 711. Total potensi biota laut di sana berjumlah 767,1 ribu ton (per 2017).
Baca Juga: 'Tengilnya' Kapal China di Laut Natuna
Belum lagi Dr. Puji Rahmadi, peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang menambahkan informasi dari hasil studi yang dilakukan oleh LIPI. Potensi biota laut Indonesia itu jika dirupiahkan, nilai kasarnya adalah Rp1.772 triliun, atau hampir setara dengan APBN Indonesia untuk tahun 2017.
Luar biasa. Jadi wajar saja, jika banyak pihak, termasuk China yang berpenduduk sekitar semiliar itu mengincar kekayaan biota laut kita. Dengan estimasi ini, pemerintah selaku pembuat kebijakan serta masyarakat umum seharusnya mulai menyadari pentingnya konservasi biota laut.
Tambahan lagi, dari studi nilai ekonomi keragaman hayati sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Conservation International (CI) Indonesia. Dalam studi yang fokus pada hiu Raja Ampat, CI menaksir nilai ekonomi hiu jika dibiarkan hidup adalah Rp1,6 miliar. Nilai itu dihitung dari jasa ekologinya sebagai predator sekaligus potensinya untuk menarik wisatawan. Sebaliknya, jika dipotong siripnya, nilai ekonomi hiu hanya Rp200.000.
Dilema Pembangunan
Mempertimbangkan nilai kekayaan laut kita yang luar biasa dan membandingkannya dengan masyarakat nelayan yang sejujurnya masih belum memperoleh nilai lebih dari potensi kekayaan sumber daya laut Indonesia, sepertinya makna sejahtera masih jauh api dari panggang.
Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan di tengah masyarakat, khususnya masyarakat pesisir menjadi fakta nyata. Hal ini ditunjukkan dari pendidikan keluarga nelayan yang rendah dan tidak dapat memenuhi standar kesehatan maupun kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Nelayan Indonesia Mau Dapat Pelatihan dari Inggris, Soal Apa?
Menurut Mulyadi (2005) ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level-security), dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang.
Ketika pemerintah ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, masyarakat pesisir, khususnya masyarakat nelayan justru hanya menjadi penonton atau menjadi buruh di lautnya sendiri. Produksi hasil laut yang diperoleh nelayan sangatlah minim jika dibandingkan potensi sumber daya laut yang berada di lingkungan sekitar nelayan tersebut.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, meskipun selama bertahun-tahun perekonomian makro tumbuh dan berkembang. Namun di balik pertumbuhan itu tersembunyi persoalan sensitif yang dapat menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di tengah bangsa. Pemerintah Indonesia harus berupaya lebih keras lagi mencapai tujuan pembangunan, mewujudkan kesejahteraan yang merata.
Masyarakat sejahtera adalah masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang baik, diukur antara lain dari pemerataan dan keterjangkauan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan hidup baik primer maupun sekunder (Gumelar, 1998).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: