Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Save Our Sea: Ketika Sampah Plastik Jadi Public Enemy

Save Our Sea: Ketika Sampah Plastik Jadi Public Enemy Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah

Fenomena Bisnis Limbah Plastik

Serupa di Indonesia, bisnis limbah di Eropa hingga kini masih gelap dan tertutup meski terdapat beragam regulasi pemerintah. Ketiadaan pengawasan perbatasan di Uni Eropa membuat perputaran uang dan limbah sampah plastik ilegal menjadi tak terdeteksi. Tidak jelas pula siapa yang paling diuntungkan. Sebab itu, regulator kerap kesulitan mengawasi bisnis hitam bernilai miliaran dolar AS itu.

Fenomena ini bisa diamati di Jerman karena kewenangan perizinan berada di negara bagian, pengawasan secara nasional mustahil dilakukan. Ketika China menutup keran impor limbah 2018 lalu, pemerintah tidak memiliki alternatif selain mengirimkan sampah plastik dan kertas yang tidak bisa didaur ulang sebagai bahan bakar untuk industri (pabrik semen).

Baca Juga: Kesulitan Buang Limbah Beracun, Jerman Berencana Tutup PLTN

Sementara untuk plastik yang dapat didaur ulang, harus diekspor karena keterbatasan kapasitas di dalam negeri Jerman, dan adanya potensi ekspor limbah ke Asia oleh pelaku industri. Menurut Asosiasi Industri Daur Ulang Jerman, limbah yang diekspor ke Indonesia bersifat ilegal. Pada dasarnya ekspor sampah tidak diizinkan. Ekspor hanya diperbolehkan untuk bahan baku daur ulang.

Fenomena ekspor sampah kategori limbah karet, plastik, dan stirena dari Jerman ke Indonesia pada 2018 meningkat drastis, dari 600 ton menjadi 64.459  ton per tahun. Sampah yang diekspor biasanya harus bisa didaur ulang, artinya berupa limbah yang belum terkontaminasi. Jerman juga melarang pengimpor Indonesia menyimpan limbah tanpa diolah. Namun, dalam praktiknya aturan tersebut tidak selalu ditaati.

Pada dasarnya bisnis ekspor limbah daur ulang menguntungkan kedua pihak. Contoh, limbah logam sangat penting terutama buat negara yang tidak memiliki industri baja sendiri. Perekonomian negara yang miskin sumber daya alam bergantung pada impor limbah logam dari negara lain.

Dari fenomena bisnis sampah di Indonesia, kebutuhan bahan baku kimia daur ulang dirasakan oleh sektor manufaktur. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mencatat lebih dari separuh kebutuhan petrokimia dalam negeri berasal dari impor. Tahun 2017 kebutuhan atas bahan baku kimia semisal polietilena (PE), polipropilena (PP), polistirena (PS), dan polivinil klorida (PVC) mencapai 5,83 juta ton. Artinya, dari hampir enam juta ton kebutuhan bahan baku, industri petrokimia di dalam negeri hanya mampu memproduksi dua juta ton.

Sementara sisanya harus mengimpor, antara lain berupa limbah daur ulang. Sebab itu aktivitas perdagangan bahan baku daur ulang ini tidak boleh disamaratakan dengan ekspor sampah yang jelas ilegal. Limbah alias sampah tersebut masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Batam, Pelabuhan Tanjung Emas, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Tangerang.

Dari total tersebut, ada 374 kontainer yang telah diekspor kembali ke negara asalnya karena tak memenuhi syarat ekspor limbah ke Indonesia. Namun, sebanyak 536 kontainer telah memenuhi syarat untuk masuk ke Indonesia. Lalu, buat apa impor sampah tersebut? Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah dan Sampah B3 (PLSB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien menuturkan pasokan limbah tersebut dibutuhkan untuk industri pengolahan plastik dan kertas.

Menurut Rosa, sejumlah pelaku industri mengakui jika ketersediaan bahan baku industri plastik dan sampah di Indonesia masih kurang sehingga masih perlu impor. Pelaku industri di Indonesia masih membutuhkan bahan baku plastik dan kertas recycle. Kenapa masih?

Dari sisi permintaan, bahan baku di dalam negeri belum cukup memenuhi pabrik-pabrik tersebut. Limbah atau sampah di Indonesia masih belum memenuhi standar kebutuhan industri karena proses pemilahan sampah di Indonesia masih sangat minim dilakukan. Padahal, bahan baku itu sangat baik kalau dipilah sampahnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: