Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kisah Perusahaan Raksasa: ExxonMobil Perusahaan Minyak Supermasif

Kisah Perusahaan Raksasa: ExxonMobil Perusahaan Minyak Supermasif Kredit Foto: Reuters/Sebastien Pirlet
Warta Ekonomi, Jakarta -

Banyak dari kita tahu, dunia masih memiliki ketergantungan pada minyak dan gas alam. Berbagai alasan mendukung pendapat ini, salah satunya karena ekonomi dan infrakstruktur dunia internasional bergantung pada produksi berbasis minyak. Pada gilirannya, tidak hanya ekonomi yang terdampak, industri minyak dan gas secara luar biasa juga memengaruhi perpolitikan global.

Sejalan dengan itu, banyak perusahaan minyak raksasa dunia merajai perekonomian global. Mulai industri yang berbasis di Amerika Serikat, Arab Saudi, hingga China. Exxon Mobil salah satunya.

Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Toyota, Raja Otomotif Jepang

1870-Rockefeller-supporting.jpg

ExxonMobil atau Exxon Mobil --selanjutnya Exxon-- merupakan perusahaan penghasil dan pengecer minyak multinasional yang bermarkas di Texas, AS. Perusahaan ini memproduksi dan memasarkan olefin, aromatik, polietilen, dan plastik polipropilen dan berbagai produk khusus. Seiring perkembangannya, ia memiliki kepentingan dalam fasilitas pembangkit tenaga listrik.

Perusahaan raksasa dari AS itu sempat memiliki kendala pada 2019. CEO Exxon, Darren Woods mengatakan bahwa permasalahan terjadi disebabkan rendahnya harga minyak dunia. Perusahaan pimpinannya mengalami penurunan laba 31 persen (yoy), dengan hanya mendapat 14,3 miliar dolar AS pada 2020. Konsekuensinya, utang perusahaan naik signifikan di angka 24 persen. 

Kondisi tersebut menempatkan Exxon di peringkat kesebelas daftar perusahaan terkaya dalam Global 500 versi Fortune, pada 2020. Hal ini selaras dengan kondisi pasar yang ternyata kelebihan pasokan minyak akibat "overproduction". Pada akhirnya, perusahaan memperoleh pendapatan keseluruhan sebesar 264,9 miliar dolar AS dengan aset senilai 177,9 miliar dolar AS.

Exxon memang perusahaan global. Ia mendapat keuntungan investasi berlebih dari produksinya di Norwegia, pada 2019. Namun, Jatuhnya harga minyak dunia pada akhir 2019-awal 2020, memberikan pukulan keras pada pendapatan (revenues) Exxon pada kuartal I (Q1), terparah dalam tiga dekade terakhir.

1919-Humble-Oil-supporting.jpg

Cukup menarik kiranya pada kesempatan kali ini, Jumat (21/8/2020), Warta Ekonomi membahas perjalanan ExxonMobil sebagai perusahaan raksasa dunia. Dikutip dan diolah dari berbagai sumber, kami sajikan kisah tersebut dalam tulisan sebagai berikut.

Exxon Corporation, dahulu (hingga 1972) dikenal sebagai Standard Oil Company, bekas perusahaan minyak dan sumber daya alam yang bergabung dengan Mobil Corporation sebagai ExxonMobil pada 1999. Baik Exxon maupun Mobil adalah anak-anak dari perusahaan John D. Rockefeller, bos Standard Oil Company yang didirikan pada 1870.

Embrio Standard Oil bermula pada 1882. Bersama dengan perusahaan afiliasinya, Standard Oil Company of New Jersey bersama Standard Oil Company of New York (Socony) disatukan menjadi sebuah perusahaan baru yaitu Standard Oil Trust, dengan Socony sebagai perusahaan terbesarnya. 

Socony membeli tiga perempat kepemilikan di Vacuum Oil Company seharga 200.000 dolar AS, pada 1879. Vacuum Oil saat itu dinobatkan sebagai perusahaan pelopor pelumas. Sebab mereka memperkenalkan sejumlah produk populer, yakni Gargoyle 600-W Steam Cylinder Oil yang revolusioner.

Socony mendapatkan pijakan yang kuat di pasar yang luas untuk penjualan minyak tanah di China, dengan mengembangkan lampu kecil yang dapat membakar minyak tanah secara efisien. Lampu tersebut kemudian dikenal sebagai Mei-Foo, dari simbol China untuk Socony, yang berarti "kepercayaan diri yang indah".

1915-Ralph-De-Palma-supporting.jpg

Reputasi Standard Oil di mata publik sangat buruk setelah publikasi eksposur klasik Ida M. Tarbell berjudul The History of the Standard Oil Co. pada 1904, yang menimbulkan protes keras bagi pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap perusahaan. Pada 1911, dengan protes publik mencapai klimaksnya, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Standard Oil harus dibubarkan dan dipecah menjadi 34 perusahaan.

Dua dari perusahaan tersebut adalah Jersey Standard (Standard Oil of New Jersey) dan Socony (Standard Oil of New York).

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: