Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

RPP Turunan Cipta Kerja Diharapkan Pro Industri

RPP Turunan Cipta Kerja Diharapkan Pro Industri Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah tengah merampungkan produk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perdagangan dan Perindustrian, yang merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Para pelaku usaha pun berharap RPP ini dapat mengakomodasi kepentingan industri, seperti jaminan kepastian bahan baku hingga perlindungan industri dalam negeri.

Baca Juga: TaniHub: Omnibuslaw dan Vaksin Ciptakan Angin Segar di 2021

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan RPP Perindustrian dan Perdagangan sangat penting bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Maka dari itu pihaknya pun mengusulkan beberapa masukan. Diantaranya perlu adanya perbaikan mekanisme impor.

Menurut Jemmy perlu ada kebijakan ketat berupa kewajiban menyertakan perizinan impor bagi importir yang mengimpor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB), dan Free Trade Zone (FTZ).

“Apalagi dari pengalaman sebelumnya kemudahan impor produk TPT melalui PLB, GB, dan FTZ seringkali disalahgunakan untuk membanjiri pasar domestik dengan produk impor,” ucap Jemmy di Jakarta, Kamis (21/1/2021).

Adapun untuk RPP perindustrian dia menuturkan bahwa pemerintah perlu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Menurutnya impor hanya dilakukan bila Industri di dalam negeri tidak dapat memproduksinya baik sebagai bahan baku atau bahan penolong.

“Kami melihat belum ada bab yang membahas jaminan pasar domestik bagi produk dalam negeri sehingga RPP ini tidak bisa mendorong penggunaan bahan baku dalam negeri, hingga Memperbaiki kebijakan Impor,” tegasnya.

Jemmy melihat selama ini kemudahan impor yang seharusnya membantu industri dalam negeri khususnya IKM malah menjadi bumerang dan mengancam industri dalam negeri. Dari dalam negeri masalah mahalnya ongkos logistik menjadi masalah klasik yang masih menjadi pekerjaan rumah.

“Tingginya biaya logistik disebabkan karena penerapan infrastruktur logistik belum terintegrasi dan menciptakan biaya ekonomi tinggi,” jelasnya.

Sementara itu dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI), Rachmat Hidayat menambahkan industri makanan dan minuman juga ikut terdampak dengan adanya pandemi ini. Meskipun masih bisa mencatatkan pertumbuhan yang positif, namun industri ini harus melakukan adaptasi dari perubahan perilaku konsumen yang lebih mawas terhadap kesehatan ataupun kebersihan dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi.

“Disamping itu, beberapa tantangan juga dihadapi oleh industri makanan dan minuman seperti misalnya belum adanya jaminan pengadaan energi yang lebih kompetitif, ketersediaan bahan baku, hingga jaminan pasokan bahan baku,” pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Alfi Dinilhaq

Bagikan Artikel: