Kian Represif pada Rakyat, Militer Tembak 2 Pengunjuk Rasa Myanmar
Sedangkan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan, organisasi itu bisa saja menjatuhkan sanksi baru pada militer Myanmar. Namun dia menggarisbawahi, bahwa sanksi itu tidak boleh membuat warga semakin menderita. “Kami saat ini sedang meninjau semua opsi,” kata Borrell.
Seluruh elemen masyarakat bergabung dalam aksi protes dan mogok kerja. Termasuk para pekerja pengawas penerbangan sipil dan pengawas lalu lintas udara. Hal itu berdampak pada penerbangan internasional yang ingin melewati ruang udara Myanmar, dan akan membebani kas pemerintah. Uang masuk dari penerbangan bisa mencapai hingga 182 ribu dolar AS per hari, atau sekitar Rp 2,5 miliar.
Tak cuma pekerja di bidang aviasi, sekelompok polisi di wilayah Negara Bagian Kayah, turut serta dalam aksi protes. Mereka berbaris memakai seragam, dan memekikkan nada-nada protes terhadap junta. “Kami tidak ingin kediktatoran,” tulisan di sejumlah poster dan spanduk yang mereka bawa.
Aksi massa yang terjadi di Myanmar saat ini mengingatkan pada pendudukan militer yang berlangsung selama hampir 60 tahun, dan diwarnai gelombang pemberontakan berdarah, hingga militer melepaskan sebagian kekuasaan pada 2011.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: