Kisah Perusahaan Raksasa: Marubeni, Konglomerat Perdagangan yang Lagi Terhuyung-huyung Jalani Bisnis
Selanjut, pada Agustus 1973 Marubeni mengakuisisi Nanyo Bussan, sebuah perusahaan perdagangan yang menangani tembaga, nikel, krom, dan logam lainnya dari Filipina. Akuisisi tersebut meningkatkan pangsa Marubeni atas impor tembaga negara dari 0,8 menjadi tujuh persen. Penambahan Nanyo Bussan ke Marubeni semakin mendiversifikasi operasi perusahaan dan memperkuat posisinya di bidang logam.
Sementara itu, Februari 1976 dilaporkan bahwa Marubeni secara ilegal mengalihkan komisi dari penjualan pesawat Lockheed kepada pejabat pemerintah Jepang. Marubeni dituduh menyuap pejabat untuk mendukung penjualan Lockheed di Jepang.
Marubeni, agen Lockheed di Jepang, awalnya membantah terlibat dalam skandal tersebut. Ketua Marubeni Hiro Hiyama, bagaimanapun, mengundurkan diri dalam upaya menjaga integritas perusahaan.
Pada Juli, jaksa penuntut menangkap hampir 20 pejabat Marubeni dan All Nippon Airways, termasuk Hiro Hiyama, yang dituduh melanggar undang-undang kontrol devisa Jepang.
Skandal Lockheed terjadi hanya tiga tahun setelah Marubeni dituduh mengambil keuntungan dari beras dengan menimbun persediaan di pasar gelap Jepang. Marubeni rusak parah oleh citra publiknya yang tidak baik; lebih dari 40 kotamadya membatalkan kontrak dengan Marubeni, dan beberapa usaha internasional dihentikan.
Marubeni pulih dengan cepat dari skandal Lockheed. Pada tahun 1977 volume perdagangan perusahaan meningkat dua kali lipat dari tahun 1973. Sebagai sogo shosha Jepang terbesar ketiga, Marubeni mengkonsolidasikan jaringan perdagangan internasionalnya dan memperluas bisnisnya di Amerika Serikat, Australia, Brasil, Inggris, Jerman Barat, dan Swedia.
Selama awal 1980-an Marubeni terlibat dalam pengembangan tambang batu bara di Amerika Serikat dan Australia, tambang tembaga di Papua Nugini, dan tambang logam nonferrous di Australia dan Filipina.
Meletusnya gelembung ekonomi Jepang pada akhir 1980-an menyebabkan kesulitan yang berkepanjangan bagi Marubeni pada 1990-an. Dalam keputusasaan, perusahaan perdagangan membangun portofolio saham yang besar dan menjadi terpikat pada pendapatan yang bisa mereka peroleh melalui arbitrase.
Setelah gelembung pecah, sogo shosha ditinggalkan dengan portofolio besar yang nilainya anjlok. Semua perusahaan perdagangan pada akhirnya terpaksa melikuidasi sebagian besar kepemilikan saham mereka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: