Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dahlan Iskan ke Jawa Pos: Ini Koran Kok Jelek Begini, Ya...

Dahlan Iskan ke Jawa Pos: Ini Koran Kok Jelek Begini, Ya... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan telah lama dikenal sebagai pengusaha media. Dahlan membesarkan Jawa Pos Group berkat karirnya di surat kabar kecil di Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1975. Lalu, pada tahun 1976, Dahlan menjadi wartawan majalah Tempo hingga tahun 1982 membesarkan Jawa Pos.

Dahlan Iskan lahir di desa kecil yang sangat jauh dari kota Magetan, Jawa Timur. Ayahnya adalah seorang petani yang tidak memiliki sawah, dan hanya bekerja di tempat petani lain. Saat tidak ada kegiatan di sawah, ayahnya akan kerja serabutan sebagai tukang kayu.

Baca Juga: Bukan Emas atau Tanah, Chairul Tanjung Beberkan Data Bakal Jadi Aset Paling Berharga di Dunia!

Dalam video YouTube bertajuk "ANAK BURUH TANI JADI BOS MEDIA?? Dahlan Iskan - Hermanto Tanoko Podcast (Part 1)" Dahlan menyebutkan bahwa tinggal di desa kecil itu hingga lulus SMA. Ia bercerita, jika ingin bersekolah, ia harus menempuh 5 kilometer tanpa sepatu atau sandal.

Meski kondisinya miskin dan terlihat menderita, tetapi Dahlan mengaku tidak semenderita itu. Ia merasa legowo menjalani hidupnya kala itu. Ini karena orang tua Dahlan adalah sosok yang sangat pekerja keras, sehingga ia pun ikut bekerja keras.

Karena itu, Dahlan mengingatkan kepada orang tua yang sudah memiliki anak, anak itu meski terlihat tidak tahu apa-apa, pada dasarnya mereka merekam segala kegiatan orang tuanya. Dahlan masih mengingat jelas bagaimana orang tuanya bekerja keras. Ayahnya setiap pagi ke sawah sampai siang, begitu siang bersih-bersih pekarangan, lalu kembali ke sawah sampai sore, dan usai sholat Isya, ayahnya akan kembali ke sawah sampai jam 10 malam.

Setelah lulus SMA, Dahlan Iskan ikut merantau dengan kakaknya ke Samarinda, Kalimantan Timur, karena kuliah di sana gratis. Selama perjalanan itulah, Dahlan Iskan merasakan kali pertama melihat kemegahan kota besar seperti Surabaya, dan melihat laut karena menyebrangi pulau dengan kapal. Namun, mutu pendidikan kampus itu tidak begitu bagus karena ada pelajaran yang sudah dipelajari Dahlan di kelas 2 SMA, baru diajari di kampus tersebut.

Karena itulah, Dahlan Iskan lebih tertarik dengan menjadi aktivis mahasiswa, dengan melakukan demo anti korupsi, dan lain sebagainya. Bahkan, Dahlan sampai merasa tak tertarik untuk kuliah, ia hanya ingin menjadi aktivis mahasiswa. Salah satunya yakni dengan bergabung menjadi anggota Ikatan Pers Mahasiswa.

"Dari pers kampus itulah saya belajar menjadi wartawan," ujar Dahlan.

Saat itu, Dahlan baru berusia 24 tahun di tahun 1974, ia kemudian direkrut oleh sebuah surat kabar kecil di Samarinda. Kemudian, ia mengikuti tes pelatihan wartawan di Jakarta. Tes tersebut diikuti oleh ribuan orang, dan nantinya hanya akan dipilih 10 orang. Dahlan Iskan pun berhasil menjadi salah satu dari 10 orang tersebut. Ia pun dididik di Jakarta, di sebuah lembaga bernama LP3ES, dengan ketuanya Nono Anwar Makarim, bapak dari Nadiem Makarim.

Setelah itu, Dahlan pun ke Surabaya menjadi wartawan majalah Tempo. Pelatihan wartawan yang didapatkan Dahlan Iskan itu sangat bagus. Saat siang, ia magang di Tempo, Jakarta, dan saat malam akan ada kelas teori jurnalistik. Setelah magang selesai selama tiga bulan, Dahlan pun diterima menjadi wartawan Tempo.

Saat itu, Dahlan setiap hari membaca koran Jawa Pos di Surabaya. Namun, ia setiap hari mengeluh kualitas koran tersebut tidak bagus.

"Ini koran kok jelek begini, ya," keluh Dahlan.

Dahlan pun berpikir jika ia diberi amanah untuk memimpin Jawa Pos, ia akan membuat Jawa Pos menjadi koran dengan kualitas yang bagus. Pikiran-pikiran itu pun berlalu-lalang selama dua tahun. Saat itu, pemilik Jawa Pos, The Chun Shen sudah tua sekali, sudah berusia 90 tahun dan memiliki tiga orang anak. Sayangnya, ketiga anaknya tinggal di luar negeri dan tidak ingin meneruskan usaha orang tuanya karena adanya pertengkaran.

Dari situ juga Dahlan Iskan membebaskan kehidupan anaknya karena ia tak ingin ada pertengkaran. Setelah itu, Jawa Pos pun dijual total oleh The Chun Shen karena akhirnya tinggal di London dengan anak-anaknya.

Setelah berhasil membesarkan Jawa Pos, Dahlan Iskan mengaku sempat merasakan krisis kertas, karena itulah ia juga memiliki pabrik kertas. Lalu, karena pabrik kertas sangat sensitif terhadap listrik, dan listrik PLN zaman dulu sangat buruk jika hujan, karena itu Dahlan Iskan membuat pembangkit listrik sendiri. Dahlan Iskan berkeliling China untuk mencari pembangkit listrik yang bagus sekaligus belajar cara membuat pembangkit listrik.

Saat memiliki Jawa Pos, Dahlan Iskan mengaku pusing memikirkan kualitas, iklan, profit, dan lain-lain, lalu muncul krisis kertas, sehingga membuat pabrik agar tidak pusing lagi. Tetapi ternyata, masih pusing juga terkait listrik hingga membuat pembangkit listrik sendiri.

"Ternyata pusing itu tidak perlu dihindari, karena setiap pengusaha yang berkembang akan menemukan pusingnya lagi," ujar Dahlan Iskan. "Tetapi itulah yang membuat pengusaha 'matang'," tambahnya lagi.

Dahulu, Dahlan Iskan berpikir pusing itu hanya saat menjadi wartawan yang harus mengejar berita, mengejar narasumber, dan harus menuliskan sebelum jam 11 malam.

"Setelah jadi pengusaha, paling stress itu ternyata menjadi pengusaha," ujar Dahlan Iskan berkelakar.

Selain menjadi pengusaha, Dahlan Iskan juga pernah ditunjuk menjadi Direktur PLN dan membuat gebrakan yang luar biasa. Banyak pengusaha yang sudah membeli banyak genset tetapi menganggur karena listrik dari PLN sudah luar biasa baik.

Meski hanya 22 bulan menjabat sebagai Direktur PLN, tetapi dampaknya bisa dirasakan hingga hari ini. Setelah itu pun, Dahlan Iskan ditunjuk menjadi Menteri BUMN.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami

Bagikan Artikel: