Tak Terbukti Efektif Berantas Korupsi, Ketua Komnas HAM Minta Hukuman Mati Dihapuskan
Lebih lanjut, Taufan mencontohkan negara-negara di Eropa, seperti Skandinavia, yang tingkat korupsinya sangat rendah. Hal itu bukan karena ancaman atau penerapan hukuman mati, namun disebabkan oleh praktik hukum yang bagus dan pembenahan sistem lebih baik.
Padahal, negara-negara Skandinavia sudah lama menghapuskan praktik hukuman mati. Tingkat korupsinya justru begitu rendah dikarenakan sistem keuangan negara yang dijalankan pemerintah sudah baik dalam hal pengawasan.
Justru, Taufan melihat negara-negara yang masih ngotot menerapkan hukuman mati dalam penegakan hukum, tingkat korupsinya tetap saja tinggi.
"Itu juga kaitannya dengan terorisme dan narkoba. Indonesia sudah menerapkan sekian banyak eksekusi hukuman mati kepada pelaku narkoba misalnya, tapi nyatanya tidak turun-turun kan penggunanya," ujar Taufan.
Baca Juga: Panas! Dituntut Hukuman Mati, Pengacara Heru Hidayat Lantang Bersuara: Jaksa Menyalahi Aturan!
Ia menegaskan, bahwa dengan melihat bukti tersebut, maka kesimpulannya adalah tidak ada hubungan antara penerapan hukuman mati dengan langkah yang efektif untuk mengurangi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) seperti korupsi, narkoba hingga terorisme.
"Itu tidak terbukti, bahkan untuk kasus terorisme, mereka senang dengan hukuman mati. Karena mereka ingin jihad dan ingin segera (sesuai dengan keyakinannya) masuk surga. Jadi dengan hukuman mati malah mereka seneng. Itu berdasarkan engakuan dari temen-temen BNPT dan Densus 88 ya. Sehingga hukuman mati bagi mereka terbukti idak efektif. Malah ditengarai akan menambah rasa semangat mereka untuk melakukan ‘jihad’ seperti versi mereka. Dalam pandangan teroris, jihad itulah yang mereka cari," ucap Taufan.
"Jadi menurut saya pembenahan sistemnya yang harus diperbaiki, penguatan sistem pemidanaan, pemberian hukuman yang maksimum gitu," ujarnya menambahkan.
Terkait Heru Hidayat, Taufan menyarankan agar jaksa tidak perlu lagi menerapkan tuntutan hukuman mati. Ia melihat penegakan hukum yang demikian, hanya sebatas pencitraan publik saja. Sesuatu yang kemudian bisa dibanggakan bahwa telah menuntut mati seseorang.
"Sebetulnya secara tidak eksplisit pemerintahan Jokowi, karena beberapa tahun terakhir kan sudah melakukannya, moratorium (penundaan) terhadap hukuman mati. Anehnya kenapa diajukan lagi hukuman mati? Saya kira lebih kepada pencitraan publik saja," kata Taufan.
Baca Juga: Tak Sesuai Pasal, Jaksa Tak Bisa Terapkan Hukuman Mati Pada Kasus Asabri
Lalu, Taufan juga memberi masukan kepada Kementerian BUMN terkait kasus Jiwasraya maupun Asabri, agar segera dilakukan pembenahan sistem manajemen perusahaan-perusahaan tersebut. Hal itu dianggapnya sebagai langkah efektif dalam pengawasan.
"Karena kasusnya kan mirip-mirip itu semua, sehingga kemungkinan bisa dibobol oleh kelompok-kelompok tertentu. Jadi menurut saya yang paling efektif adalah pembenahan. Sekarang sudah dibikin holdingnya gitu bahwa perusahaan asuransi BUMN ada holding. Tetapi kita juga mau ada pembenahan, pengawasan termasuk SOP yang jelas dan lain-lain, itu yang lebih penting," ujar Taufan.
Taufan menuturkan, bahwa hal yang tak kalah penting juga adalah melakukan pencegahan agar kasus serupa tidak terulang lagi. "Yang sudah terjadi ini harus jadi pelajaran bagi mereka yang terlibat ya dihukum maksimal saja. Jadi tidak perlu hukuman mati," ucapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri