Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Tinggal Diam Dikudeta La Nyalla, Pihak Fadel Ungkap Kejanggalan Perebutan Tahta

Tak Tinggal Diam Dikudeta La Nyalla, Pihak Fadel Ungkap Kejanggalan Perebutan Tahta Kredit Foto: Andi Hidayat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kuasa Hukum Fadel Muhammad, Amin Fahrudin, menyebut bahwa terdapat beberapa poin yang menjadi langkah hukum terkait konflik kliennya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti.

Pertama, kata Amin, pemberhentian yang dilakukan La Nyalla terhadap kepemimpinan Fadel sebagai Wakil Ketua MPR melalui Surat Keputusan (SK) DPD No. 2 tahun 2022 dinilai ilegal dan inkonstitusional. Pada poin A dalam SK tersebut, Amin menyebut terdapat diksi yang penuh kejanggalan.

Baca Juga: Diturun Paksa La Nyalla dari Kursi Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad Tempuh Jalur Hukum

"Jadi, ada satu diksi yang digunakan oleh DPD, yaitu kedinamisan kepempimpinan atau dinamisasi kepemimpinan. Apakah dinamisasi kepemimpinan ini sebuah norma yang diatur dalam UU MD 3 maupun dalam aturan turunannya? Yaitu, tatib MPR ataupun tatib DPD yang bisa digunakan sebagai instrumen untuk menarik pimpinan MPR dari unsur DPD," jelas Amin saat konferensi pers, Jumat (9/9/2022).

Dia menilai, diksi dalam SK tersebut memiliki alasan yang memuat maksud politik kepentingan yang sama sekali tidak didasarkan pada alasan hukum yang kuat sebagaimana diatur dalam UU MD 3 dan tata tertib yang berlaku.

Poin kedua, kata Amin, dalam proses menurunkan Fadel Muhammad, DPD menggunakan instrumen mosi tidak percaya. Dia menilai, instrumen tersebut tidak berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial.

"Manakala kabinet di tengah jalan mendapat mosi tidak percaya karena ada dinamika politik dan itu mendapatkan dukungan 50%, kabinet itu bisa jatuh, itu diatur dalam sistem parlementer. Tapi kita sebagai penganut sistem pemerintahan presidensil, yang menjadi supremasi itu bukan supremasi keputusan di parlemen, yang jadi supremasi adalah konstitusi atau hukum itu sendiri," jelasnya.

Dengan demikian, Amin menegaskan bahwa Indonesia yang menggunakan sistem presidensial, mekanisme pemberhentian kekuasaan atau impeachment mesti terjadi pelanggaran artikel. Melalui pelanggan tersebut, kata Amin, DPR bisa mengajukan dakwaan kepada mahkamah konstitusi untuk membuktikan kesalahan yang melanggar.

"Baru, kemudian MK ketika menyatakan bersalah dikembalikan kepada MPR untuk mengambil keputusan pelengseran atau pemberhentian presiden atau wapres di sidang istimewa MPR. Inilah analogi yang mustinya kita gunakan dalam mengganti pimpinan MPR, jadi bukan karena alasan interest politik semata. Namun, harus ada satu alasan di luar alasan kepentingan politik," jelasnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: