Senada dengan Tadjudin, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda memproyeksikan ke depan permintaan tenaga kerja sawit masih bisa meningkat pesat.
"Data yang resmi menyebutkan ada sekitar 2,7 juta petani dan 4,4 juta pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Data tersebut tahun 2019/2020. Tentu jumlahnya bisa jadi bertambah mengingat biasanya permintaan tenaga kerja akan meningkat pesat ketika harga kelapa sawit naik," ujar Huda, Jumat.
Salah satu contoh perusahaan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah Wilmar. Besarnya jumlah tenaga kerja karena perusahaan tersebut bergerak dari hulu dan hilir.
Untuk Perkebunan saja, Wilmar tercatat telah menyerap tenaga kerja lebih dari 11 ribu karyawan. Sedangkan karyawan untuk hilir mencapai lebih dari 31 ribu orang. Jika ditambah dengan dampak berganda (multiplier-effect), diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.
Dengan harga yang sekarang relatif tinggi, Huda optimistis masih ada ceruk untuk pekerja kelapa sawit ini. Terlebih, karakteristik pekerja kelapa sawit bukanlah tenaga kerja terdidik, sehingga tidak terlalu sulit mencari tenaga kerja yang tersedia.
Tadjudin menjelaskan keterkaitan harga TBS dengan penyerapan tenaga kerja sawit. Menurutnya, jika harga TBS sedang bagus, maka penyerapan tenaga kerja sawit tinggi karena pengusaha atau pekebun butuh memanen kelapa sawit dengan cepat. Panen harus dilakukan dalam dua minggu sekali.
"Pada waktu harga TBS Rp1.000 per kg, orang tidak mau panen kelapa sawit, berarti penyerapan tenaga kerjanya rendah. Harga sawit yang tidak menentu di dunia internasional turun naik turun naik, itu menyebabkan penyerapan tenaga kerjanya juga turun naik turun naik, tidak continue atau berkelanjutan. Jadi tergantung harga TBS," terang Tadjudin.
Sementara pada saat harga TBS Rp3.500 per kg, misalnya, penyerapan tenaga kerjanya akan besar dan justru bisa kekurangan tenaga kerja terutama untuk musim panen.
"Bahkan anak-anak muda yang ada di pedesaan sekitar kelapa sawit itu tidak mau cari kerja di luar karena upahnya tinggi. Bekerja 2-3 jam mereka bisa mendapat Rp200-300 ribu. Kebetulan saya pernah melakukan penelitian pada tahun 2015 di pabrik-pabrik sekitar Sumatera Utara. Mereka mengeluh banyak tenaga kerja minta berhenti dan pulang ke daerah masing-masing karena upah di perkebunan kelapa sawit tinggi," pungkas Tadjudin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: