Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Klaim Bebas BPA Kemasan Non-Polikarbonat Berpotensi Bahayakan Konsumen

Klaim Bebas BPA Kemasan Non-Polikarbonat Berpotensi Bahayakan Konsumen Kredit Foto: Istimewa

Sahid Hadi, Peneliti Bisnis dan HAM Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), yang juga menjadi narasumber di acara ini mengatakan adanya kesan unsur persaingan usaha terhadap pelabelan free BPA pada kemasan yang tidak mengandung BPA seperti galon sekali pakai yang berbahan PET. "Pelabelan seperti itu terkesan tidak adil dan sangat menjatuhkan kemasan produk-produk pangan yang mengandung BPA seperti kemasan galon guna ulang," katanya.

Padahal, menurutnya, seharusnya tugas negara yang paling utama adalah untuk memastikan agar usaha air minum dalam kemasan galon itu tidak mengganggu kesehatan. Dia menuturkan, AMDK galon itu tidak hanya yang galon sekali pakai, tapi juga guna ulang yang semua harus diperlakukan secara adil.

Baca Juga: FMCG Insight: Potensi BPA pada Galon AMDK Bukan Hoaks

"Jika telah mengetahui bahwa ada banyak macam AMDK galon, negara harus memastikan agar semua jenis kemasan galon itu tidak boleh mengganggu kesehatan. Seluruh AMDK galon itu harus diidentifikasi tingkat keberbahayaannya pada kesehatan publik. Jadi, bukan hanya berfokus pada galon guna ulang saja," ucapnya.

Terkait pelabelan free BPA pada galon non Polikarbonat ini, Sasmito Madrim, Ketua Umum Aliansi Independen (AJI), yang juga  menjadi pembicara menekankan pentingnya peran media dalam melindungi masyarakat dari kemasan-kemasan yang membahayakan kesehatan. Menurutnya, tujuan kode etik dan prinsip jurnalisme yang dimuat dalam Undang-Undang Pers adalah untuk kepentingan publik.

"Jadi, media seharusnya menyajikan informasi-informasi yang sudah valid, terbukti kebenarannya, supaya publik kemudian bisa mengambil keputusan-keputusan yang tepat," katanya.

Dia mengutarakan bahwa media itu berperan penting dalam memberikan edukasi ke publik. Persoalannya, menurutnya, pengetahuan para awak media itu sering tidak mendalam.

"Semangat temen-teman media dalam melindungi kesehatan publik itu cukup besar. Hanya memang temen-teman jurnalis atau editor, pemred, atau medianya sendiri kurang teredukasi terkait apa yang ditulisnya, termasuk soal zat-zat yang berbahaya dalam kemasan pangan," tuturnya.

Karena itu, dia mengusulkan perlunya kolaborasi para peneliti dengan media. Hal itu bertujuan supaya media itu memiliki "pisau bedah" yang cukup kuat ketika melihat sebuah persoalan sehingga mereka bisa melihat masalah itu dan disampaikan ke publik dengan benar.

"Sebaiknya, ada penularan ilmu dari para peneliti terkait zat-zat kimia berbahaya dalam kemasan pangan itu ke media. Hal itu bertujuan agar para media bisa mengemasnya dalam bahasa yang sederhana ke publik dan publik menjadi terlindungi dari zat-zat berbahaya," ujarnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: