Menanggapi rencana pemerintah untuk menyederhanakan struktur tarif cukai rokok menuai kritik dari sejumlah kelompok, tidak terkecuali datang dari Gabungan Pabrik Rokok Surabaya (Gaperosu).
Mereka khawatir atas rencana beleid ini karena kebijakan ini tidak hanya akan merugikan industri kecil-menengah, tetapi juga bisa mengakibatkan berbagai dampak negatif yang lebih luas.
Menurut Gaperosu, kebijakan simplifikasi yang berfokus pada penyederhanaan tarif akan memberikan beban besar bagi industri, terutama bagi pabrik-pabrik kecil.
"Pendekatan setiap golongan dengan tarif lebih tinggi akan menaikkan harga jual rokok. Ini bisa menyebabkan konsumen beralih ke rokok ilegal yang lebih murah," kata Ketua Gaperosu Surabaya, Sulami Bahar.
Selain itu, Gaperosu juga menyoroti beban pajak yang harus ditanggung oleh industri tembakau. Saat ini, pajak yang dibayarkan oleh produsen rokok mencapai 78–81 persen dari harga jual sebelum rokok dijual.
Mereka menegaskan, kebijakan ini dapat menurunkan pendapatan cukai yang diterima pemerintah.
"Rokok ilegal tidak terbebani pajak ini, sehingga mereka bisa menjual dengan harga yang jauh lebih rendah, yang tentunya merugikan industri yang legal," tambahnya.
Gaperosu menyatakan bahwa mereka telah memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan cukai yang diterapkan harus mempertimbangkan empat aspek penting: penerimaan negara, keberlanjutan industri, kesejahteraan petani, dan pemberantasan rokok ilegal.
"Kami berharap kebijakan cukai yang dibuat mempertimbangkan keberlangsungan industri dan daya beli masyarakat," kata Sulami.
Di tengah tekanan ekonomi yang semakin berat, banyak masyarakat yang mulai beralih ke rokok ilegal sebagai alternatif lebih murah untuk memenuhi kebiasaan merokok mereka.
Fenomena ini terutama terlihat di kalangan berpendapatan rendah, di mana jumlah perokok jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan tinggi.
Mengutip data Ditjen Bea dan Cukai, tingkat peredaran rokok ilegal pada 2023 mengalami peningkatan menjadi 6,86 persen. Angka itu menunjukkan ada potensi penerimaan negara yang tidak terselamatkan senilai Rp15,01 triliun.
Sementara itu akademisi dari Universitas Padjadjaran Wawan Hermawan mengungkapkan, faktor utama yang mendorong peningkatan konsumsi rokok ilegal adalah tingginya harga rokok yang tidak sebanding dengan pendapatan masyarakat.
Ditambah dengan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia, peredaran rokok ilegal dikhawatirkan menjadi semakin masif.
"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi relatif terhadap pendapatan masyarakat. Ini di-drive oleh prevalensi merokok yang masih tinggi dan budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat. Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," kata Wawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement