Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PBJT Bukan Liberalisasi: Mendorong Energi Terbarukan dan Penghematan Listrik di Indonesia

PBJT Bukan Liberalisasi: Mendorong Energi Terbarukan dan Penghematan Listrik di Indonesia Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah melalui Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi menepis tudingan berbagai pihak berlakunya Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) akan menyebabkan liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Dalam agenda Media Gathering di Dirjen EBTKE, Jakarta, Senin 09/09/2024, Eniya menegaskan bahwa penyediaan tenaga listrikan tetap akan dikuasai oleh negara.

Baca Juga: Jualan Listrik EBT RI Bukan 2 GW, Singapura Minta Tambah Lagi Segini

”Penjualan yang ke pelanggan-pelanggan langsung (oleh) ini gak boleh, gak ada (hanya PLN). Jadi tidak ada isu liberalisasi disini,” ujar Eniya. 

Justru kata Eniya, hal ini akan memberikan revenue lebih ke pada PLN sebagai perusahaan negara yang diberikan mandat penyeluran ketenagalistrikan di Indonesia.

Di lain sisi jika pun swasta ingin meyalurkan hasil produksi listriknya melalui jaringan PLN, swasta hanya diperbolehkan menggunakannya secara pribadi di wilayah usahanya sendiri (Wilus).

”Jadi yang boleh adalah kalau punya resource tertentu, di manapun lokasinya, melewati jaringan PLN, lalu dijual ke Wilusnya, bukan ke penduduknya,  begitu,” lanjut Eniya. 

Baca Juga: Luhut: Indonesia Targetkan 62 GW EBT untuk Capai NZE 2060

Realitanya, kata Eniya, skema power wheeling atau PBJT sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produksi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Pasalnya produksi listrik yang diperbolehkan masuk dalam skema power wheeling hanya yang bersumber dari EBT saja. 

Selain mengurangi emisi secara drastis, penggunaan EBT secara masif yang didukung oleh skema PBJT sangat membantu masyarakat Indonesia yang berada di wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T) yang sejauh ini masih kekurangan suplai listrik.

”Coba bayangin, Bapak, Ibu, semua yang ada di sini menikmati listrik 24 jam tanpa kedip, di Jakarta tanpa kedip. Di sana (Wilayah) 3Tcuma bisa 4 jam bahkan  (mereka) minta cuma 12 jam aja dipanjangin. Itu saya baca surat itu, ternyuh,” sambung eniya.

Baca Juga: Indonesia Butuh US$14,2 M untuk Tambah 8,2 Giga Watt EBT di 2025

Benefit lainnya, PLN ungkap Eniya, dapat tertolong dalam hal membangun biaya transmisi dan distribusi baru di seluruh Indonesia. PLN dalam hal ini membutuhkan biaya total setidaknya USD30 billion. Lalu khusus untuk sumber EBET hingga tahun 2033, PLN butuh biaya sebesar  USD80 billion. Jika dirupiahkan jumlah ini sebesar Rp1.600 triliun.

Kebutuhan super jumbo ini jika tidak dibantu oleh internasional, swasta dan skenario PBJT, Eniya menilai hal ini akan sulit untuk dicapai.

Baca Juga: EBT Baru Terkelola 0,3%, Mampukah Indonesia Capai Transisi Energi?

”Nah swasta itu bisa menyediakan resourcenya, resourcenya terbuka. Kalau banyak penyedia, hukum ekonominya berjalan, apa? Kalau banyak penyedia, jatuh harganya be tul. Nah dengan begitu, kita bisa bargaining sumber listrik yang kita dapat dari EBET pun bisa lebih murah. Sehingga apa, yang lari ke bapak ibu semua, itu listriknya lebih murah. Di sinilah subsidi pemerintah turun. Oke, paham ya, Itu tujuan kita,” tutup Eniya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: