Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Khawatirkan Masa Depan Sawit, Nasibnya Bisa Seperti Karet dan Tebu

Pakar Khawatirkan Masa Depan Sawit, Nasibnya Bisa Seperti Karet dan Tebu Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Sofyan Djalil, dalam Dialog Profesional Sawit Indonesia menyoroti pentingnya menjaga keberlanjutan industri sawit. Hal ini bertujuan agar sawit tidak bernasib serupa dengan komoditas-komoditas Indonesia lainnya yang kini menjadi memori sejarah saja padahal dulu sempat berjaya.

“Kita pernah punya bermacam komoditi yang pernah hebat. Dulu bahkan Indonesia ini merdeka gara-gara komoditas cengkeh dan pala,” kata Sofyan dikutip Selasa (19/11/2024).

Baca Juga: Program Biodiesel Dikhawatirkan Ancam Industri Sawit

Dirinya juga mengungkapkan salah satu komoditas utama Indonesia yang pernah berjaya, yakni tebu. Tebu dahulu pernah menjadikan salah satu orang di Indonesia yang menjadi konglomerat tebu di Asia.

“Pada zaman sebelum perang, tahun 30-an, kita pernah ekspor lebih dari 2 juta ton tebu. Sekarang, kita impor gula sekarang 6 juta ton. Bahkan untuk yang pangan saja tidak cukup. Belum lagi gula untuk industri.Jadi, tinggal sejarah,” jelasnya.

Selain tebu, teh di Indonesia juga pernah mengalami masa kejayaannya. Misalnya, di Kota Bandung yang dulunya dibangun oleh industri teh akan tetapi teh seiring berkembangnya zaman tidak lagi dianggap prospektif untuk dibudidayakan di Indonesia.

“Saya waktu menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), saya ingat dulu PTPN yang paling menderita adalah PTPN VIII karena produksi utamanya adalah teh. Harga teh waktu itu sekitar 1,8 dolar per kilo, hari ini harganya juga masih seperti itu,” ucap dia.

Baca Juga: SURI Cetak Rekor Penjualan Berkat Harga Karet Global yang Meroket!

Dalam konteks teh, banyak petani dan masyarakat yang tidak menganggap teh sebagai komoditas prospektif sehingga mereka kemudian mengganti tanaman teh itu menjadi komoditas hortikultura seperti kentang atau tomat, dan tanaman lainnya.

“Itu bahaya sekali terhadap lingkungan. Karena teh itu saja menjadi salah satu konservasi. Akarnya dalam. Kalau diubah dengan kentang, kentang begitu hujan itu terjadi erosi luar biasa,” kata dia.

Selain itu, sempat juga mencuat wacana kebun teh yang akan dijadikan tempat untuk memelihara sapi lantaran teh yang hidup berada di kawasan dingin.

Baca Juga: Makin Dekat, Petani Kelapa Sawit Diminta Bijak di Pilkada 2024

“Bisa kita pelihara sapi karena daerah dingin. Tapi kalau tehnya dicabut, maka saya gak bayangkan ada sumber air nanti di Indonesia. Jadi bahwa teh itu pun tinggal sejarah,” kata dia.

Tak hanya teh, Sofyan juga menyinggung perihal karet yang berada dalam pusaran sejarah kejayaan komoditas di Indonesia. pada masa Perang Korea, sebutnya, para petani karet Indonesia dianggap mengalami kemakmuran yang luar biasa.

Dirinya pun ingat perihal pengalamannya di Aceh ketika Sofyan bekerja di pabrik karet atau kran rubber di wilayah tersebut. Saat itu, harga karet menyentuh sekitar 2 dolar per kilogramnya. Mirisnya, harga hari ini pun tidak jauh berbeda dengan harga saat itu, bahkan bisa jauh lebih rendah.

Baca Juga: HW Superhouse Hadirkan PAUD Ramah Anak di Karet Kuningan

“Lalu saya itu berkesimpulan, the whole commodity itu tinggal sejarah. Satu-satunya commodity yang bisa memberikan kemakmurah rakyat, kemakmurah masyarakat, kemakmuran industri adalah sawit,” tutur Sofyan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar

Advertisement

Bagikan Artikel: