Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cerita Panjang di Balik Implementasi B40: Mengapa Baru Dipasarkan Maret 2025?

Cerita Panjang di Balik Implementasi B40: Mengapa Baru Dipasarkan Maret 2025? Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah secara resmi menetapkan kebijakan penggunaan bahan bakar solar B40, yaitu biodiesel dengan campuran 40 persen bahan bakar nabati berbasis minyak sawit. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, dengan pemasaran direncanakan dimulai pada Maret 2025. 

"Kami sudah memutuskan peningkatan dari B35 ke B40. Hari ini kami umumkan bahwa implementasinya berlaku mulai 1 Januari 2025," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/1/2024).

Bahlil menjelaskan, implementasi B40 merupakan langkah penting untuk mengurangi impor solar yang selama ini menjadi beban bagi anggaran negara. Sebagai gambaran, penerapan B35 pada 2024 telah berhasil menghemat devisa negara sebesar USD 7,78 miliar atau sekitar Rp 122,98 triliun.

Baca Juga: Apa itu Bahan Bakar B40 dan Kenapa Pemerintah Mengadakannya?

Dengan target volume B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (KL) per tahun, penghematan devisa di 2025 diproyeksikan meningkat menjadi USD 9,33 miliar atau sekitar Rp 147,5 triliun.

"Jika implementasi B40 berjalan lancar, kami berharap di 2026, sesuai arahan Presiden Prabowo, kita bisa mendorong penerapan B50. Dengan begitu, impor solar dapat dihentikan sepenuhnya," tegas Bahlil.

Produksi dan Distribusi B40

PT Pertamina (Persero) telah menyatakan kesiapan memproduksi B40 di dua kilang utama, yaitu Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Produksi biodiesel ini juga didukung oleh 24 badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) dan 2 badan usaha bahan bakar minyak (BU BBM) untuk kebutuhan PSO (Public Service Obligation) dan non-PSO.

Kementerian ESDM telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 341.K/EK.01/MEM.E/2024, yang mengatur alokasi 15,6 juta KL biodiesel B40. Sebanyak 7,55 juta KL dialokasikan untuk PSO, sementara 8,07 juta KL untuk non-PSO.

"PSO ini sebenarnya subsidi, sedangkan non-PSO dijual dengan harga pasar," jelas Bahlil.

Manfaat Ekonomi dan Lingkungan dari B40

Direktur Jenderal Energi Baru & Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, program mandatori Biodiesel B40 ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan. 

Tercatat, nilai tambah crude palm oil (CPO) meningkat sebesar Rp 20,9 triliun, serta menyerap lebih dari 14 ribu tenaga kerja di sektor off-farm dan 1,95 juta tenaga kerja di sektor on-farm. 

Selain itu, emisi gas rumah kaca berhasil dikurangi sebesar 41,46 juta ton CO2e per tahun.

Penyaluran biodiesel B40 akan didukung oleh 24 Badan Usaha (BU) BBN dan 2 BU BBM yang mendistribusikan untuk PSO dan non-PSO, serta 26 BU BBM yang khusus menyalurkan B40 untuk non-PSO.

“Tetapi baik ke PSO Atau non PSO dibeli itu dengan Harga HIP biodiesel. Jadi tidak ada banting-bantingan harga. Jadi itu Akan dibeli dengan harga yang sama (oleh Pemerintah),” jelas Eniya.

Transisi dari B35 ke B40

Meskipun B40 mulai berlaku pada Januari 2025, pemasaran produk ini baru dilakukan mulai Maret 2025. Hal ini disebabkan oleh masa transisi selama dua bulan, yang digunakan untuk menghabiskan stok biodiesel B35 yang masih tersedia.

"Kami sudah meminta badan usaha untuk menghabiskan stok B35 hingga 28 Februari 2025," jelas Eniya.

Baca Juga: Mendadak! Bahlil Resmi Umumkan Implementasi B40 Mulai Januari 2025

Pelaksanaan B40 akan dipantau secara ketat oleh pemerintah, termasuk evaluasi spesifikasi teknis seperti cloud point, kandungan air, acid number, dan monoglycerides. Pemerintah juga memastikan bahwa standar distribusi bahan bakar ini terpenuhi di seluruh titik serah.

"Produsen kita sudah semakin baik. Kami menetapkan standar 320 ppm untuk titik serah, agar kualitas tetap terjaga meski dalam perjalanan," ungkap Eniya.

Langkah Menuju B50 di 2026

Pemerintah optimistis implementasi B40 dapat menjadi batu loncatan menuju penerapan biodiesel B50 pada 2026. Jika semua berjalan sesuai rencana, Indonesia dapat menghilangkan ketergantungan pada impor solar dan memperkuat kemandirian energi.

"Dengan penerapan B50 di 2026, kita bisa memastikan bahwa impor solar tidak lagi diperlukan," tutup Bahlil.

Program ini menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mendorong transisi energi bersih dan memanfaatkan potensi minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: