
DPR telah menyetujui perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi UU Minerba. Perubahan ini dinilai berpotensi mengganggu independensi dan objektivitas ilmiah perguruan tinggi, terutama jika bertentangan dengan kepentingan industri tambang, serta menghambat transisi energi.
Beberapa pasal dalam revisi UU Minerba mengatur bahwa perguruan tinggi dapat menjadi penerima manfaat dari pengelolaan tambang yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta melalui perjanjian kerja sama.
“Perguruan tinggi yang diharapkan objektivitasnya, memiliki basis ilmiah, dan kritis, berpotensi mendukung kebijakan dan praktik yang menguntungkan badan usaha penerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), meskipun mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan atau tanggung jawab sosial,” ujar Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, Jumat (21/2/2025).
Ia menuturkan bahwa pasal 51A dan 60A ayat (1) dalam revisi UU Minerba menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat memberikan WIUP mineral logam atau batu bara secara prioritas kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi. Meski kampus tidak diberikan izin WIUP secara langsung, ayat (3) dalam kedua pasal ini mengatur bahwa sebagian keuntungan akan dialokasikan kepada perguruan tinggi sesuai perjanjian kerja sama.
Baca Juga: UU Minerba Disahkan, Bahlil Sebut Sejumlah Rektor Kampus Tambang Sudah Menghadap
Sartika menilai ketentuan ini dapat membuat perusahaan tambang menjadi pendonor utama perguruan tinggi, sehingga mempengaruhi kebijakan akademik dan penelitian di kampus. “Dengan pemangkasan anggaran pendidikan yang berdampak pada operasional kampus, perusahaan tambang bisa lebih leluasa menyetir perguruan tinggi untuk mendukung kepentingan sektor tambang dan energi fosil,” tegasnya.
Menurut Sartika, perguruan tinggi seharusnya tetap berpegang pada prinsip Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kampus memiliki peran lebih luas dalam menyelesaikan tantangan global, termasuk ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, dan krisis iklim.
“Dengan dominasi BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta yang masih berfokus pada batu bara, transisi ke energi terbarukan bisa terhambat. Perguruan tinggi akan kesulitan mendorong penelitian di bidang teknologi energi bersih karena keterbatasan sumber daya atau konflik kepentingan dengan mitra industri yang tidak mendukung transisi energi,” tambahnya.
Baca Juga: RUU Minerba Disahkan Jadi Undang-Undang, Ini 12 Perubahan Penting
Di sisi lain, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengkhawatirkan revisi UU Minerba ini akan membuka kembali era pemberian izin tambang secara besar-besaran yang tak terkendali.
Ia menyoroti pasal yang memberi prioritas WIUP dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada koperasi dan UMKM. Menurutnya, kebijakan ini bisa berisiko karena ribuan izin tambang dalam 10 tahun terakhir masih bermasalah dalam kewajiban keuangan, seperti pajak, royalti, dan landrent, serta kewajiban lingkungan, seperti AMDAL dan jaminan reklamasi.
“Pemberian WIUP dan WIUPK di dalam UU Minerba 4/2009 harus menggunakan mekanisme lelang karena banyak aspek teknis, lingkungan, dan keuangan yang harus dipenuhi. Jika tidak, kita berisiko kembali ke era tambang jor-joran yang tak terkendali,” ujar Aryanto.
Saat ini, pengawasan pemerintah terhadap sektor pertambangan dinilai masih lemah. Aryanto menegaskan bahwa tanpa pengawasan yang ketat, perubahan dalam UU Minerba justru bisa semakin memperparah eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Annisa Nurfitri
Advertisement