Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ditutupnya Selat Hormuz Picu Krisis Energi Global, Begini Dampaknya Ke RI

Ditutupnya Selat Hormuz Picu Krisis Energi Global, Begini Dampaknya Ke RI Kredit Foto: Pertamina
Warta Ekonomi, Jakarta -

Serangan Amerika Serikat (AS) pada tiga fasilitas nuklir Iran pada Sabtu 21 Juni 2025 berpotensi membuat harga minyak mentah dunia melonja hingga menyentuh angka US$ 83 per barel. Pasalnya, serangan tersebut membuka kemungkinan Iran akan menutup jalur perdagangan strategis di Selat Hormuz, yang menjadi jalur utama distribusi minyak global.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa serangan pertama AS ke Iran secara langsung menimbulkan kekhawatiran eskalasi konflik akan meluas di timur tengah. 

“Situasi nya akan menyebabkan terganggu nya distribusi migas dan berbagai bahan baku melalui selat hormuz,” kata Bhima kepada Warta Ekonomi, Jakarta, Senin (23/6/2025).

Baca Juga: Iran Ancam Tutup Selat Hormuz, Aspermigas : Negara Harus Ancang-ancang

Sebagaiamana diketahui, pada Senin 23 Juni 2025, harga minyak mentah Brent berjangka naik US$ 1,92 atau 2,49% ke level US$ 78,93 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate AS juga naik US$ 1,89 atau 2,56% menjadi US$ 75,73 per barel.

Sementara itu, Bhima memproyeksi harga minyak mentah melonjak kisaran US$80 hingga 83 per barel dalam waktu dekat.

“Estimasi harga minyak mentah menyentuh 80-83 usd per barrel dalam waktu dekat, setidaknya awal Juli 2025. Meski permintaan energi saat ini sedang turun, tapi konflik bisa mendorong naiknya harga minyak signifikan,” tuturnya. 

Bhima mengatakan, ditutupnya Selat Hormuz bagi perekonomian RI, khususnya lonjakan harga mpor bahan bakar minyak (BBM) yang akan berimbas pada inflasi di tengah lemahnya daya beli masyarakat. 

“Ini bukan inflasi yang baik, begitu harga bbm naik, diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat,” terangnya. 

Baca Juga: Memohon ke China, Rezim Trump Kelabakan Dengar Iran Mau Tutup Selat Hormuz

Jika konflik berkepanjangan, Bhima turut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 4,5% secara tahunan (year-on-year). 

“Makin berat mencapai target 8% pertumbuhan ekonomi karena situasi eksternal nya terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah,” urainya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cita Auliana
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: