Kejagung Bongkar Skandal Shadow Government, Seruan Reformasi Digitalisasi Pendidikan Menguat
Kredit Foto: Ist
Kejaksaan Agung menemukan keberadaan grup WhatsApp bernama “Mas Menteri Core Team” yang aktif sejak Agustus 2019, dua bulan sebelum Nadiem Makarim menjabat Menteri Pendidikan. Grup tersebut telah membahas arah kebijakan pengadaan Chromebook dan transformasi digital pendidikan, jauh sebelum pengambilan keputusan sah oleh pejabat publik.
Pengungkapan peran kelompok informal dalam merancang proyek pengadaan Chromebook senilai triliunan rupiah di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada era Nadiem Makarim memicu kekhawatiran serius soal praktik shadow government alias pemerintahan bayangan yang melangkahi kewenangan resmi negara.
"Belum dilantik, belum punya kewenangan, tapi sudah mengatur proyek triliunan rupiah. Inilah ironi negara," tegas Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Rabu (30/7/2025).
Baca Juga: Kejagung Tetapkan 8 Tersangka Baru dalam Kasus Kredit Sritex, Kerugian Negara Tembus Rp1 Triliun
Menurutnya, grup WhatsApp tersebut bukan sekadar tempat diskusi biasa. Ia menyebut, para anggotanya didominasi pihak yang memiliki afiliasi dengan korporasi besar. Mereka menyusun kebijakan strategis terkait digitalisasi pendidikan, termasuk peralihan dari sistem Windows ke Chrome OS.
"Terlihat jahat individu dan korporasi berkomplot, masa kita diam saja? Masa itu ditoleransi? Padahal, kebijakan seperti itu semestinya lahir lewat kajian teknis yang sah, dan hanya boleh ditetapkan oleh pejabat publik yang sah pula. Tapi inilah wajah shadow governance, yakni pemerintahan bayangan yang bekerja di luar konstitusi, di balik layar, tanpa mandat publik," jelasnya.
Dugaan praktik pengadaan yang tidak transparan juga diperkuat penelusuran IAW terhadap sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kemendikbudristek. Salah satu tender bernomor P.3462023 mencantumkan spesifikasi teknis yang mengarah ke produk dan layanan Google, seperti Chrome OS, Google Education License, dan sistem manajemen berbasis Google.
"Artinya, spesifikasi itu sudah dikunci untuk vendor tertentu bahkan sebelum tender diumumkan. Siapa yang menguasai pasar perangkat dan lisensi Google di Indonesia? Ada tuh, inisialnya D yang saat dilidik tahun 2023 oleh para penyelidik Kejagung, salah satunya mereka mendapat dokumen-dokumen terkait impor perusahaan tersebut," ungkapnya.
IAW mencatat, sebanyak 78 persen pengadaan tahun 2020 hingga 2022 dilakukan dengan skema penunjukan langsung, bukan melalui lelang terbuka. Hal tersebut tidak hanya mencederai prinsip persaingan usaha, tetapi juga menutup peluang efisiensi dan transparansi dalam belanja anggaran negara.
“Perusahaan itu saat ini sedang resah, mencoba hendak 'cuci tangan' padahal bukti sudah ada, yakni sebagai salah satu pihak yang terafiliasi kasus korupsi Chromebook. Nanti alurnya tentu sama-sama bisa kita lihat pada fakta persidangan. Perusahaan itu disebut-sebut menguasai 89% pasar Chromebook pemerintah. Vendor lain sepertinya tidak mungkin mampu untuk menyaingi,” jelasnya.
IAW juga menegaskan, praktik tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, mengacu pada sejumlah undang-undang, di antaranya Pasal 13 dan 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 12 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, serta Pasal 1365 KUH Perdata yang memungkinkan gugatan ganti rugi hingga tiga kali lipat dari nilai kerugian negara.
"Preseden hukumnya sudah ada. Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusan No. 45 PK/PID.SUS/2023 bahwa perencanaan pengadaan sebelum jabatan resmi bisa dikategorikan sebagai konspirasi korupsi," ujarnya.
Iskandar menambahkan, Indonesia bukan satu-satunya negara yang terjebak dalam proyek digitalisasi pendidikan yang lebih menguntungkan korporasi ketimbang murid. Ia mencontohkan beberapa negara lain yang menghadapi persoalan serupa.
Baca Juga: Nadiem Makarim Diperiksa Lagi Soal Dugaan Korupsi Laptop, Kejagung: Ini Sangat Urgent
Di Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal (FTC) menjatuhkan denda sebesar USD 170 juta kepada Google karena mengumpulkan data pribadi siswa melalui perangkat Chromebook dan layanan Google for Education tanpa izin yang sah. Di Spanyol, proyek EDU 365 pada 2009–2012 disanksi otoritas antimonopoli dengan denda €15 juta karena kolusi tender.
Sementara itu, proyek One Laptop per Child di Nigeria gagal karena perangkat yang dibagikan tidak sesuai dengan kondisi lokal dan akhirnya terbengkalai. Di Korea Selatan, program Smart Classroom bahkan menjadi ajang markup harga melibatkan vendor-vendor terafiliasi pejabat, yang kemudian dikritik publik meski hanya berujung pada teguran dari pemerintah.
"Pelajaran buat Indonesia? Perancang, pelaku, dan penikmat dari kejahatan serapi itu harus sesegera diberangus semaksimal mungkin!" tegasnya.
Untuk itu, IAW mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas. Beberapa di antaranya adalah audit forensik dilakukan BPK dan PPATK terhadap aliran dana sejak tahun 2019, fokus penyidikan pada perencanaan pra-jabatan oleh Kejaksaan Agung dan KPK, revisi UU Tipikor untuk mengakomodasi pasal “perencanaan korupsi sebelum menjabat”, gugatan perdata terhadap korporasi global dan mitra lokalnya, serta larangan total bagi vendor yang berafiliasi dengan pejabat untuk mengikuti tender negara.
"Jika dibiarkan, kita akan terus jadi negara yang dijajah teknologi dengan restu kekuasaan. Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut," ungkapnya.
Iskandar menekankan, digitalisasi dan modernisasi pendidikan tidak boleh menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan. Apalagi jika kebijakan tersebut lahir dari ruang-ruang obrolan informal, penuh konflik kepentingan, dan hanya menguntungkan korporasi global.
"Jika dibiarkan, kita akan terus jadi negara yang dijajah teknologi dengan restu kekuasaan. Ketika rencana dibuat sebelum jabatan dimulai, saat itulah negara kehilangan kendali atas kedaulatannya sendiri. Kami yakin negara melalui aparat penegak hukum Kejaksaan Agung dan KPK bisa lebih tegas lagi menyidik perilaku jahat tersebut," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement