Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Apkasindo Soal Biodiesel: Jika Ada NGO Mengkritik, Pasti Bukan Petani Sawit

        Apkasindo Soal Biodiesel: Jika Ada NGO Mengkritik, Pasti Bukan Petani Sawit Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2020 lalu, penggunaan B30 di Indonesia terus menjadi pembahasan dan topik menarik di berbagai platform media. Tak jarang pula, sejumlah NGO maupun pihak antisawit tidak suka dan bahkan menolak kehadiran bahan bakar nabati ini.

        Menanggapi kondisi ini, Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung menegaskan apabila ada NGO yang mengkritik program biodiesel dengan mengatakan merugikan petani sawit, dapat dipastikan yang berteriak itu bukan petani sawit. Sebab, mereka tidak merasakan nikmatnya harga TBS setelah biodiesel diimplementasikan.

        Lebih lanjut Gulat mengatakan, "implementasi B30 ini meningkatkan serapan konsumsi domestik akibatnya negara importir sawit kebakaran jenggot karena kesulitan membeli CPO dengan harga murah. Itu sebabnya, marak kampanye hitam yang mengaitkan sawit dengan lingkungan dan mempekerjakan anak di bawah umur."

        Baca Juga: Ekspor Sawit Per Juli Melonjak, China & Timur Tengah Paling Gak Bisa Nolak

        Berdasarkan data Gapki diketahui hingga Juli 2020, total konsumsi domestik Indonesia mencapai 10,093 juta ton atau 3% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan terbesar terjadi pada oleokimia yakni mencapai 45% dan biodiesel 27%, sedangkan konsumsi domestik untuk produk pangan mengalami penurunan sebesar 15%.

        Gulat juga menambahkan, kehadiran BPDPKS justru mengakibatkan kehidupan kelapa sawit di Indonesia menjadi sangat terkontrol.

        "Coba dibayangkan, ada hampir 2.000 korporasi sawit di Indonesia dan 992 PKS, sistem evaluasi produktivitas keduanya harus terintregasi melalui data digital. Untung saja ada BPDPKS, di mana setelah Bayu Krisnamurthi (Dirut BPDPKS pertama) saat itu langsung memerintahkan jajarannya menjaga dan memelototin semua pelabuhan ekspor CPO. Alhasil angka ekspor sawit Indonesia naik signifikan. Hal ini menandakan data paduserasi ekspor CPO sebelum berdirinya BPDPKS masih berantakan," jelas Gulat.

        Menurut Gulat, data bulanan Gapki tersebut sudah cukup menggambarkan kedigdayaan sawit Indonesia.

        "Kita harus jujur mengakui kalau tidak ada sawit, maka Indonesia bisa terpuruk semenjak awal pandemi. Bukan karena korporasi sawit, tapi 41% perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh petani. Efek ganda komoditas ini luar biasa. Itulah sesungguhnya kunci utama sawit menjadi lokomotif ekonomi Indonesia," ungkap Gulat.

        Terakhir Gulat mengatakan, "sekarang, pekerjaan rumah Presiden tinggal masalah kehutanan yang saling klaim dengan perkebunan sawit, persoalan ini sudah beranak pinak sejak puluhan tahun lalu."

        Ditambah lagi, data KLHK mengklaim bahwa di Riau misalnya, terdapat sekitar 61,9% kebun sawit petani dalam kawasan hutan.

        Gulat mengibaratkan persoalan tersebut harus segera di-KB-kan supaya jangan muncul lagi persoalan baru.

        "Tidak boleh ada lagi menanam sawit di lokasi yang bukan peruntukannya dan sebaliknya tidak ada lagi klaim hutan masuk ke perkebunan sawit," harap Gulat.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: