- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Hanya Tinggal Dua Langkah, Indonesia Bisa Menjadi Produsen Utama Baterai Mobil Listrik Dunia
Akselerasi elektrifikasi kendaraan terus dilakukan oleh pemerintahan dari Indonesia. Dari pemberian tunjangan hingga hilirisasi terus dilakukan, salah satunya diwujudkan dengan produksi baterai listrik secara lokal.
Pakar Ekonomi Josua Pardede mengemukakan bahwa hal ini dapat tercapai mengingat besarnya cadangan bahan baku guna memproduksi komoditas tersebut di Indonesia.
Baca Juga: Efisiensi Harita Group, Sulap Limbah Menjadi Rumah
Nikel dan tembaga misalnya, dua mineral ini melimpah dalam wilayah timur tanah air, tepatnya Sulawesi, Maluku Utara dan Papua (Sulampua). Tercatat wilayah ini memiliki total cadangan nikel sebesar 4,6 miliar ton di tahun 2021.
“Sebanyak 99,76% cadangan nikel Indonesia tersebar di Wilayah Sulawesi Sulampua. Sampai dengan tahun 2021, total cadangan nikel,” tegas Josua dalam keterangannya yang dilansir pada Senin (18/9).
Dengan cadangan melimpah, bukan tidak mungkin julukan motor pertumbuhan ekonomi nasional dan rantai terpenting dalam industri otomotif berbasis listrik dunia akan dipegang oleh Maluku Utara.
Peluang ini tak boleh disia-siakan begitu saja, apalagi di tengah adanya momentum permintaan pasar global terhadap produk olahan nikel yang diperkirakan mencapai 3,2 juta ton pada tahun 2024.
Hal tersebut sejalan dengan komitmen dunia untuk mengurangi emisi karbon hingga nol dengan beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
“Transisi menuju green energy tetap membutuhkan mineral dalam membangun teknologi rendah karbon. Selain itu, tingginya biaya bahan bakar fosil mendorong transisi energi baru terbarukan (EBT), sehingga permintaan bahan baku mineral diperkirakan meningkat,” jelas dari Josua.
Salah satu yang telah memanfaatkan dengan penuh momentum ini adalah PT Trimegah Bangun Persada (Harita Group) yang berada di Maluku Utara. Perusahaan tersebut diketahui terus membuat terobosan dalam industri nikel.
Mulai dari pembangunan fasilitas pengolahan nikel saprolite dengan teknologi Rotary Klin Electric Furnace hingga menjadi pionir penggunaan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) untuk mengolah nikel limonit, semua hal tersebut dijalankan searah dengan mimpi dari Indonesia akan menjadi produsen baterai listrik dunia.
Baca Juga: Meroketnya Ekonomi Maluku Utara, Bukti Keberkahan Industri Nikel Indonesia
Adapun Harita Group sendiri terus memproduksi bahan baku baterai mobil listrik, nikel cobalt compound, guna membuktikan komitmen tersebut. Perusahaan baru-baru ini menyampaikan bahwa pihaknya berhasil mencapai kapasitas produksi sebanyak 55.000 ton per tahun di 2023
Harita sendiri menargetkan peningkatan produksi bahan dasar baterai mobil listrik sebanyak 120.000 metrik ton pada 2024 mendatang.
“Kami berharap mulai tahun depan kapasitas meningkat 2 kali lipat menjadi 120.000 ton per tahun,” ujar Presiden Direktur PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Group), Roy A Arfandy.
Baca Juga: Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Harita Nickel Gencar Berdayakan Petani
Secara teoritis Harita membutuhkan dua langkah lagi untuk mewujudkan bisa membuat baterai untuk mobil listrik. “Saat ini kami sedang merencanakan untuk membangun fasilitas yang dibutuhkan, termasuk untuk pembuatan komponen anoda dan katoda,” ujar Rico Windy Albert, Head of technical support HJF (Halmahera Jaya Feronikel) dan HPALA (Halmahera Persada Lygend) , anak Perusahaan TBP.
Namun perlu diingat bahwa sinergi semua elemen stakeholder adalah kunci untuk menyukseskan tercapainya kesempatan emas ini. Josua mendorong adanya percepatan kehadiran blueprint utama dalam pembangunan ekosistem ekonomi hijau di Indonesia.
Hal ini bukan tanpa alasan, ekonom ini menyebutkan bahwa sejalan dengan kebutuhan nikel yang meningkat, jumlah smelter yang beroperasi serta rencana pembangunan smelter akan turut naik guna mendukung tuntutan pasar.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan kebijakan hijau yang mendorong penurunan emisi karbon. Di sinilah menurutnya perlu ada turun tangan dari pemerintah atau pemegang kepentingan.
Selain itu, Josua juga mendorong kehadiran ekosistem carbon trade/credit, insentif untuk penerapan kebijakan hijau sampai dengan optimalisasi instrumen dari Renewable Energy Certificate (REC).
“Transisi menuju ekonomi hijau oleh industri pengolahan logam Sulampua dapat dimulai dengan membangun ekosistem ekonomi hijau dan mengoptimalkan instrumen Renewable Energi Certificate,” jelas dari Josua.
Di sisi lain hal ini juga memiliki tantangan tersendiri, mulai dari pelaku usaha yang dipastikan akan menuntut adanya kejelasan informasi terkait metode perhitungan emisi karbon yang dihasilkan oleh perusahaan sampai dengan perlunya kehadiran infrastruktur penunjang ekosistem energi baru terbarukan.
Hal ini juga sudah dilakukan oleh Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara. “Di antaranya kami membangun sistem kelistrikan tenaga surya, serta pemanfaatan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk pengembangan material jalan, bahan bangunan dan perumahan, “ ujar Stevi Thomas C, Director of External Relations PT Trimegah Bangun Persada (TBP, induk Perusahaan Harita Group).
“Investasi Indonesia ke depan mengarah kepada sektor-sektor prioritas, yaitu industri orientasi ekspor, infrastruktur, energi, dan pertambangan. Pemerintah juga harus berencana membatasi jumlah pembangunan smelter dan fokus pada pengembangan hilirisasinya untuk meningkatkan nilai tambah,” tegas Josua.
Penulis : Aldi Ginastiar
Laporan : Muhamad Ihsan
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Aldi Ginastiar
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: