Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menilai ada kemiripan gaya antara Presiden Soeharto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mempertahankan kepemimpinannya melalui gelaran Pemilihan Umum (Pemilu).
Menurut Hasto, Soeharto dan Jokowi sama-sama menggunakan abuse of power dengan cara mengkondisikan aparatur negara. Hal itu dia ungkap mengacu pada buku NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971 karya Ken Ward (1972).
Baca Juga: Permohonan Kubu AMIN Diijabah MK, 4 Menteri Jokowi Bakal Jadi Saksi di Sidang Sengkata
Hasto mengaku, ketika membaca buku tersebut tak hanya muncul wajah Soeharto, melainkan juga Jokowi. Dia menuturkan, kekerasan yang jelas terjadi pada Pemilu 1971, ketika Soeharto ingin mempertahankan kekuasaannya.
"Saya mencoba menghilangkan Pak Jokowi (dalam buku NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971). Tetapi sulit, maklum 23 tahun bersama Pak Jokowi," kata Hasto dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Menurutnya, hal itu menjadi muara kekuatan otoriter Suharto hingga 27 tahun berikutnya. Kejadian serupa juga terjadi saat ini, kata Hasto, ada intimidasi terhadap jurnalis dalam bekerja pada saat ini meski kebebasan jurnalis termuat dalam cita-cita reformasi.
Hasto juga menuturkan, pada Pemilu tahu. 1971, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga ikut campur tangan dalam kemenangan Suharto. Menurutnya, hal itu juha terjadi saat ini.
"Yang lain kita lihat bagian dari skenario absuse of power tersebut," jelas dia.
Baca Juga: Putusan 90 Disebut Tak Bisa Jadi Dasar Gibran bin Jokowi Jadi Cawapres: 'Ada Konspirasi Pamannya'
Pada saat itu, tutur Hasto, Soeharto memiliki waktu 18 bulan untuk mempersiapkan skenario mempertahankan kepemimpinan melalui Ali Murtopo, Amir Mahfud, dan Sujono Mardani.
Begitu juga dengan Jokowi. Meski tak persis berapa bulan upaya Jokowi mempertahankan kepemimpinannya, Hasto menyebut ada beberapa upaya yang dilakukan melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.
"Kalau diukur pertama Pak LBP mengatakan bahwa di PDI Perjuangan sebenarnya banyak 70 persen, saya lupa angkanya, yang setuju perpanjangan jabatan pada 11 Maret 2022, itu artinya 19 bulan dipersiapkan. Kalau ditinjau Pak Anwar Usman menikah pada Juni itu 16 bulan," kata Hasto.
Baca Juga: Gugatan ke MK Soal Pencalonan Gibran bin Jokowi Tidak Salah Kamar, Begini Penjelasannya!
Lebih jauh, Hasto menyebut Soeharto berhasil membangun narasi pembangunan nasional, stabilitas politik, keamanan, akselerasi, dan modernisasi pembangunan 25 tahun ke depan dengan mimpi.
Saat itu, narasi besar Suharto mendapat sambutan baik para akademisi yang kemudian bergabung dalam suatu kampanye akselerasi modernisasi. Namun, kata Hasto, proses yang terjadi saat itu minim kebebasan, demokrasi, dan hak untuk berserikat.
Di samping itu, Hasto menuturkan Suharto melakukan abuse of power dengan keterlibatan Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, ABRI, dan Operasi Khusus (OPSUS).
Sementara Jokowi, abuse of power nampak melalui TNI-Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Kementerian Agama.
Selain itu, Hasto juga menyebut Jokowi turut mengondisikan Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian BUMN, hingga Badan Pangan Nasional.
Baca Juga: Mudik Lebih Awal, Imbauan Jokowi Soal Lebaran 2024
"Ini yang terjadi dan saya coba bandingkan kekuasaan Soeharto dan Jokowi sebenarnya ada kemiripan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar