- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
RI Mau Implementasi E10 2–3 Tahun Lagi, Pengamat: Kendaraan Bisa Jadi Lebih Boros
Kredit Foto: Istimewa
Pemerintah berencana menerapkan kebijakan pencampuran bahan bakar etanol sebesar 10% (E10) dalam dua hingga tiga tahun mendatang. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk menekan impor bensin dan menurunkan emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil.
Namun, pengamat energi menilai kebijakan ini perlu dikaji matang, terutama dari sisi keekonomian dan ketersediaan pasokan etanol di dalam negeri.
CEO Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, wacana pencampuran etanol dalam bensin bukan hal baru. Upaya serupa sudah pernah dilakukan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan kadar campuran 2,5–3%, namun tidak berlanjut karena persoalan biaya produksi dan pasokan.
“Dulu sempat dicoba, tapi tidak berlanjut karena harga etanol waktu itu cukup mahal sehingga harga biofuel juga tinggi. Produksinya pun akhirnya lebih banyak diekspor karena tidak terserap di dalam negeri,” jelas Fabby.
Baca Juga: Pakar Energi Nilai Kandungan Etanol 3,5% dalam BBM Aman dan Ramah Lingkungan
Fabby menambahkan, saat ini pemerintah telah menjalankan program E5, yaitu campuran 5% etanol dalam bensin. Rencana ke depan menaikkan campuran menjadi 10% memiliki dua tujuan utama: mengurangi impor minyak dan meningkatkan kualitas bahan bakar
“Etanol bisa menaikkan nilai Research Octane Number (RON), sehingga pembakarannya lebih baik dan emisi gas buang lebih rendah,” ujarnya.
Meski demikian, Fabby mengingatkan bahwa kandungan energi etanol lebih rendah dibanding bensin, sehingga berpotensi membuat konsumsi bahan bakar kendaraan menjadi sedikit lebih boros.
“Kandungan energi berkurang sekitar 3%. Jadi kalau dengan bensin murni 1 liter bisa menempuh 10 km, maka dengan campuran etanol 10% jaraknya sekitar 9,7 km. Tidak signifikan, tapi tetap ada penurunan efisiensi,” katanya.
Baca Juga: Etanol Umum Dijadikan Campuran BBM di Negara Maju, Dinilai Efektif Tekan Emisi Karbon
Tantangan Harga dan Pasokan
Menurut Fabby, tantangan terbesar kebijakan ini justru terletak pada harga dan pasokan etanol. Sebagai komoditas industri, harga etanol fluktuatif dan berpotensi lebih tinggi dibanding harga bensin.
“Perlu dipastikan apakah pencampuran etanol membuat harga BBM jadi lebih murah atau malah lebih mahal. Kalau lebih mahal, pemerintah harus menyiapkan skema subsidi,” jelasnya.
Selain itu, untuk mencapai kadar campuran 10%, dibutuhkan pasokan etanol yang besar—setara 10% dari total konsumsi bensin nasional. Jika kapasitas produksi domestik belum mencukupi, maka impor etanol tidak terhindarkan.
“Kalau tujuannya ketahanan energi, etanol seharusnya diproduksi di dalam negeri. Kalau diimpor, ya sama saja—impor minyak berkurang tapi impor etanol naik,” ujarnya menegaskan.
Baca Juga: Dirjen Migas: Etanol di BBM Itu Ibarat Pisang Goreng Tambah Garam
Fabby juga menyoroti proyek pengembangan etanol di Merauke dan Bojonegoro, yang masih menunggu realisasi produksi.
“Harus dicek kapan mulai produksi. Butuh waktu menanam tebu dan memastikan pasokan jangka panjang. Kalau harga ekspor etanol lebih menarik, produsen bisa memilih menjual ke luar negeri,” katanya.
Ia mencontohkan, kebijakan serupa pada biodiesel bisa berjalan karena disubsidi oleh BPDPKS melalui dana pungutan ekspor CPO.
“Pertanyaannya, apakah etanol bisa disubsidi dengan skema serupa? Kalau tidak, akan jadi beban APBN,” ujar Fabby.
Pemerintah: E10 untuk Kurangi Impor dan Emisi
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa penerapan E10 merupakan langkah strategis pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor bensin, yang saat ini mencapai 60% dari total kebutuhan nasional.
Baca Juga: Soal Etanol di BBM, Pertamina: Itu Praktik Global
“Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatory 10% etanol. Tujuannya agar impor minyak kita berkurang dan bahan bakar yang digunakan lebih bersih serta ramah lingkungan,” ujar Bahlil di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Namun, ia menekankan bahwa implementasinya belum akan dilakukan dalam waktu dekat.“Ya, dua sampai tiga tahun dari sekarang. Kita harus hitung baik-baik dulu,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo