Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Persepsi Hutan Nonlinier, Deforestasi Sawit Hanya Ilusi

Persepsi Hutan Nonlinier, Deforestasi Sawit Hanya Ilusi Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan

Tidak hanya perbedaan definisi hutan oleh Indonesia dan FAO, GFW (Global Forest Watch) juga telah merilis terminologi terkait primary forest. GFW mendefinisikan primary forest sebagai hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30 persen. Kurang tepat rasanya apabila persepsi GFW tersebut disamakan dengan definisi hutan primer yang dianut Indonesia, yang mana apabila memperhatikan batasan yang dipakai maka yang disebut dengan primary forest sesungguhnya adalah hutan alam (mature natural forest) bukan hutan primer.

Perlu diketahui bahwa dari awal dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover. Dalam hal ini, tree cover yang berupa hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan akan mencakup apa pun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan.

Baca Juga: Komoditas Andalan Ekspor di Masa Pandemi, Sawit Terkuat

Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi/data tree cover loss maka perubahan/loss yang terdeteksi terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter. Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, yang mana deforestasi khususnya gross deforestastion hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.

Lebih lanjut Belinda mengatakan, “Untuk inilah maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi." 

Berdasarkan kajian Komisi Eropa tahun 2013 diketahui bahwa total deforestasi lahan yang terjadi secara global mencapai 239 juta hektar dengan rincian 58 juta hektar berasal dari peternakan, 13 juta hektar oleh pembukaan lahan kedelai, 8 juta hektar akibat pembukaan lahan jagung dan hanya 2,5 persen dari total deforestasi tersebut atau sekitar 6 juta hektar yang berasal dari perkebunan kelapa sawit.

Tidak hanya itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa juga menambahkan 22 persen dari total deforestasi global tersebut berasal dari hutan sekunder, sementara sisanya berasal dari lahan terbuka, semak belukar, semak rawa, perkebunan karet dan lainnya. Dari segi pengurangan emisi gas rumah kaca, biofuel berbasis sawit mampu menandingi batas yang telah ditetapkan Uni Eropa, baik RED I yaitu 35 persen atau RED II sebesar 65 persen.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Lestari Ningsih

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: