Koordinator Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Arta Siagian, mengungkapkan bahwa dampak kebijakan internasional dalam dua dekade terakhir terhadap ekspansi sawit di Indonesia kian mengkhawatirkan. Dia menyebut bahwa kebijakan internasional, khususnya yang terkait dengan energi terbarukan turut memacu perluasan sawit secara masif yang berdampak pada lingkungan.
Kebijakan energi Uni Eropa pada tahun 2007 – 2008, jelas Uli, mendorong penggunaan biodiesel sebagai sumber energi utama. Hal tersebut tak pelak menjadi salah satu pemicu utama lonjakan ekspansi sawit di Indonesia.
Baca Juga: Prabowo Sebut Dunia Takut Enggak Kebagian Jatah Kelapa Sawit dari Indonesia
Atas hal tersebut, luas perkebunan sawit di Indonesia kemudian meningkat drastic dari yang semula 7 juga hektare menjadi hampir 20 juta hektare hingga kini. Ekspansi besar-besaran tersebut tak pelak tidak bisa dilepaskan dari masalah.
“Ekspansi sawit secara masif ini berkontribusi pada kerusakan lingkungan, perampasan tanah masyarakat adat, hingga deforestasi,” jelas Uli, dikutip Selasa (31/12/2024).
Tren global dalam dua hingga tiga tahun terakhir ini menunjukkan adanya pergeseran menuju perlindungan lingkungan. Dia mencontohkan saat ini Uni Eropa yang telah mengadopsi regulasi bebas deforestasi (EUDR) yang direncanakan mulai berlaku pada Desember 2026.
Regulasi EUDR tersebut akhirnya mewajibkan komoditas-komoditas yang masuk ke tanah Eropa, termasuk di antaranya minyak sawit, wajib memenuhi syarat dan standar bebas legalitas dan deforestasi. Uli menilai jika waktu satu tahun penundaan EUDR akan berdampak besar.
“Tidak hanya pada ekspansi sawit saja, melainkan juga pada produsen seperti Indonesia,” tegasnya.
Kendati demikian, hingga saat ini ia menilai bahwa pemerintah masih belum sepenuhnya siap menghadapi regulasi tersebut.
Negara-negara maju, kata Walhi, termasuk Uni Eropa dinilai juga berkontribusi pada kerusakan lingkungan di Indonesia melalui konsumsi komoditas-komoditas tersebut. Namun di sisi lain, negara-negara tersebut saat ini justru cenderung memaksa standar lingkungan ketat yang wajib diikuti oleh negara produsen sehingga menghasilkan standar ganda.
“Penolakan pemerintah Indonesia terhadap regulasi ini menunjukkan minimnya kesadaran bahwa tren global sekarang lebih berfokus pada perlindungan lingkungan,” ucapnya.
Terkait hal tersebut, Uli mengungkapkan bahwa negara-negara terkait, seperti Inggris, juga telah mengadopsi undang-undang serupa.
“Amerika Serikat pun sedang menyusun kebijakan terkait hak asasi manusia dan lingkungan,” imbuhnya.
Alhasil, menurut Uli, kebijakan lingkungan internasional saat ini bisa memengaruhi pola investasi di sektor sawit di Indonesia. Dia memprediksi bahwa investasi yang tidak memenuhi standar global mungkin akan susah bertahan dalam beberapa tahun mendatang.
Maka dari itu, pihaknya mengimbau agar pemerintah Indonesia segera mengambil langkah strategis dalam menghadapi perubahan kebijakan global.
“Kita perlu berfokus pada keberlanjutan, bukan hanya kepentingan jangka pendek saja,” tegasnya.
Baca Juga: BMKG Prediksi Iklim 2025 Ideal Buat Produktivitas Sawit, Namun Perlu Antisipasi
Hal tersebut dilakukan bertujuan agar Indonesia tetap relevan di pasar internasional tanpa mengorbankan lingkungan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement