Bersama dengan beberapa produsen batu bara besar lainnya, Glencore juga merupakan pemegang saham besar di globalCOAL, platform perdagangan batu bara fisik daring, pada 2011.
Pada 2013, Glencore menyelesaikan proses penggabungannya dengan perusahaan pertambangan Xstrata. Kesepakatan yang memakan waktu 450 hari, menciptakan perusahaan dengan 190.000 karyawan di 50 negara. CEO Glencore Ivan Glasenberg memimpin perusahaan baru tersebut. Sejak itu menurut Reuters, Glencore dikenal dengan "strategi akuisisi oportunistik tetapi menguntungkan".
Kesedihan pun menyertai kebahagiaan perusahaan itu. Pada tahun yang sama, sang pendiri, Marc Rich meninggal dunia.
Harga global untuk sejumlah aset yang diperdagangkan Glencore, khususnya seperti batu bara dan tembaga, perusahaan mencatatkan kerugian operasional bersih sebesar 656 juta dolar AS di paruh pertama 2015. Saham perusahaan pun ikut turun sejalan dengan hasil buruk yang ditorehkan di saat itu.
Utang Glencore pun menggunung mencapai 30 miliar dolar AS. Pada 7 September 2015, perusahaan berusaha meyakinkan investor untuk memangkas utang mereka sebesar 10 miliar dolar AS pada akhir tahun depan. Akhirnya perusahaan menjual aset dan sahamnya, guna menambal lubang utang yang ada.
Sayangnya itu tidak berhasil dan kekhawatiran pun meningkat. Kepanikan terjadi pada 28 September 2015 dan saham anjlok lebih dari 28 persen dalam sehari, menjadi kurang dari 70p. Sehari kemudian, saham tersebut kembali pulih secara signifikan setelah perusahaan menyatakan bahwa "secara operasional dan finansial kuat".
Setelah rumor bahwa Glencore terbuka untuk tawaran pengambilalihan, saham tersebut melonjak 7 persen lagi pada 5 Oktober 2015, dengan saham naik sebanyak 70 persen dalam perdagangan Hong Kong.
Untuk memastikan sumber pembiayaan berkelanjutan dan berjangka panjang, Glencore mulai membentuk kemitraan dengan sejumlah negara, seperti Qatar Investment Authority (QIA), yang memiliki 8,2 persen saham Glencore. Pada 2017, QIA dan Glencore membeli 19,5 persen Rosneft, perusahaan energi negara Rusia. Dana kekayaan kedaulatan lainnya, dari Norwegia, Uni Emirat Arab, Singapura, dan China juga menjadi investor utama Glencore.
Glencore telah mengumumkan hasil keuangannya untuk kuartal I 2020, yang ditandai oleh penurunan produksi tembaga sebesar 29 persen dan penurunan produksi kobalt sebesar 44 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2019, dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan penutupan tambang dan gangguan rantai pasokan di seluruh operasinya.
Perusahaan telah mengalami penurunan produksi yang luas, dengan timbal, ferrokrom, dan produksi emas masing-masing turun 17 persen, 3 persen, dan 1 persen. Meskipun ada titik terang, seperti peningkatan 13 persen dalam produksi timbal dibandingkan dengan kuartal I 2019, tren keseluruhan mengecewakan penambang.
Gangguan ini telah menyebabkan penambang menurunkan banyak perkiraan produksinya untuk sisa 2020. Glencore memperkirakan penurunan produksi tembaga sebesar 45.000 ton dibandingkan dengan perkiraan sebelum pandemi.
Memang, penambang mengharapkan produksi jatuh pada semua komoditasnya, dan sebagian besar mineral akan mengalami tingkat produksi yang lebih rendah daripada 2019. Satu-satunya pengecualian adalah produksi seng, yang masih diharapkan Glencore akan meningkat, menargetkan produksi 1.160 kiloton pada 2020, dibandingkan dengan 1.078 kiloton pada 2019.
Penambang juga telah merevisi belanja modalnya, memotong pengeluaran dari 5,5 miliar menjadi antara 4 miliar dan 4,5 miliar dolar AS.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: