Ternyata, angka yang disampaikan Sri Mulyani ini masih lebih tinggi dibanding hitungan pengamat. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, misalnya, memprediksi ekonomi Indonesia akan anjlok hingga minus 3 persen.
Dengan prediksi itu, dia menyarankan agar pemerintah fokus menatap tahun depan. Catatan Bhima, ada tiga pos belanja yang harus ditambah. Pertama, kesehatan. Sebab, gelombang kedua pandemi Corona sudah terjadi di sejumlah negara. Sayangnya, pagu anggaran Kementerian Kesehatan di 2021 malah turun drastis.
"Kita takut, saat gelombang pertama belum selesai, tahun depan ada gelombang kedua. Sementara, distribusi vaksin butuh waktu sehingga harus ada spending belanja kesehatan yang lebih besar," ulasnya.
Baca Juga: Inggris Khawatirkan Jenis Baru Covid yang Menyebar Lebih Cepat karena...
Kedua, perlindungan sosial. Kata Bhima, pelaku usaha butuh waktu untuk merekrut pengangguran. Sementara, kelas menengah yang jadi orang miskin meningkat. Kondisi ini bisa diimbangi dengan belanja perlindungan sosial. Instrumennya, melalui transfer tunai, bukan sembako yang rawan dikorupsi.
Ketiga, stimulus pelaku UMKM. Pemerintah perlu memvalidasi data agar stimulus lebih tepat sasaran. Begitu juga dengan pendampingan. Tujuannya, pelaku UMKM dapat masuk platform digital.
"Mungkin itu yang bisa dilakukan. Sehingga kontraksi tahun depan bisa diredam dan kembali positif pertumbuhan ekonominya," tukas Bhima.
Ekonom senior Indef Aviliani memprediksi perekonomian Indonesia tahun depan bisa menyentuh 5 persen. Syaratnya, jika setengah warga Indonesia telah divaksin dan tidak ada gelombang kedua. Jika masyarakat yang divaksin tidak mencapai 50, bukan tidak mungkin pertumbuhan hanya mampu bersandar di angka 3 persen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: