Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pemimpin Asia Sepakat Pererat Hubungan, Ini Faktor-faktor Penyebabnya

Pemimpin Asia Sepakat Pererat Hubungan, Ini Faktor-faktor Penyebabnya Kredit Foto: AP Photo/Aijaz Rahi

Terkait perjanjian RCEP, Direktur Jenderal Perundingan Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, kewajiban pemerintah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga naskah akademis RCEP sudah tuntas.

"Sekarang, sepenuhnya ada di tangan DPR untuk segera mengesahkan," kata Djatmiko kepada Republika, Minggu (29/5/2022).

Perjanjian RCEP beranggotakan 10 negara anggota ASEAN dengan lima negara mitra dagang yakni Cina, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Djamitko mengatakan, Indonesia tidak sendiri sebagai negara yang belum melakukan pengesahan. Ada Filipina anggota RCEP dari ASEAN yang juga belum meratifikasinya.

Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza mengatakan, pengesahan RUU perjanjian ditargetkan rampung pada bulan Juni. Pengesahan perjanjain tentunya harus melalui Rapat Paripurna DPR. Namun, hingga akhir Mei ini, ia menjelaskan, pembahasan teknis RCEP bersama Kemendag belum rampung. 

Segera Rampungkan RCEP 

Pemerintah bersama parlemen diharapkan bisa segera meratifikasi perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Pasalnya, RCEP akan sangat bermanfaat di tengah situasi lonjakan harga pangan global.

Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia, Shinta W Kamdani menilai, RCEP sangat fungsional dan strategis dalam mendorong ekspor dan investasi serta menciptakan stabilisasi relasi dagang.

Selain itu, RCEP memberikan proteksi dari kebijakan perdagangan yang bersifat proteksionis atau bias kepentingan antara pro-Rusia atau sebaliknya, yang kini tengah perang melawan Ukraina.

"Secara riil, kita belum bisa memanfaatkan potensi itu karena terkendala ratifikasi yang belum selesai," kata Shinta kepada Republika, Minggu (29/5/2022). 

Perjanjian RCEP sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo dalam forum "27th International Conference on The Future of Asia", yang digelar pada 26-27 Mei 2022. Dalam pidatonya, Presiden mengajak negara-negara untuk berupaya secepat mungkin mengimplementasikan RCEP. 

Shinta Kamdani mengatakan, RCEP juga bisa difungsikan untuk mempermudah substitusi dagang dan meminimalisasi efek penurunan suplai komoditas pangan di kawasan berupa kenaikan harga. Sebab, RCEP secara signifikan menurunkan hambatan perdagangan, baik dari sisi tarif maupun nontarif.

"Sebagai contoh dalam hal kelangkaan suplai gandum di pasar global, RCEP bisa membantu negara-negara ASEAN, yang kesulitan memperoleh suplai gandum karena konflik di Ukraina atau larangan ekspor gandum India dengan bisa mencari alternatif suplai dari Australia," kata Shinta.

Meskipun harga jual gandum tersebut akan mengikuti harga gandum di pasar global, RCEP bisa menurunkan beban impor. Hal ini karena RCEP memberikan konsesi tarif 0 persen untuk ekspor gandum Australia ke negara-negara RCEP.

Manfaat itu dinilai sangat signifikan karena produk seperti gandum tanpa RCEP umumnya dikenakan tarif yang cukup mahal, sekitar 21,8 persen per 2018 lalu dan bisa lebih. Jumlah itu belum ditambah biaya penguotaan volume impor.

"Dengan demikian, risiko terhadap instabilitas ekonomi seperti inflasi yang tidak terkendali, karena masalah harga atau kelangkaan suplai produk pangan dan energi bisa diminimalisasi," kata dia.

Perjanjian RCEP beranggotakan 10 negara anggota ASEAN dengan lima negara mitra dagang, yakni Cina, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, pada akhir pekan lalu mengatakan, RCEP  bisa menjadi solusi nyata bagi perekonomian dunia yang dilanda inflasi tinggi.

Tekanan inflasi diakibatkan hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang, serta tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mestinya.

“Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik,” kata Mendag Lutfi. 

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: