Didid menyebut kebijakan ekspor CPO melalui bursa berjangka akan memudahkan pemerintah menetapkan neraca komoditas CPO. Hal ini agar kejadian kelangkaan bahan baku CPO untuk minyak goreng tidak terulang.
Dia mencontohkan produksi CPO sebanyak 50 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, kebutuhan untuk konsumsi dan sejenisnya kira-kira 3 juta ton. Lalu, kebutuhan untuk pengolahan turunan CPO sekitar 6 juta ton. Kebutuhan biodiesel dan sebagainya sekitar 14 juta ton sehingga kebutuhan domestik sekitar 23 juta ton. Berarti, maksimal ekspor yang bisa diizinkan adalah sekitar 27 juta ton.
Baca Juga: Peningkatan Harga CPO Produsen Nomor Dua Sawit Dunia Didorong Sentimen Ini
Selain itu, Didid menyebut saat ini pihaknya masih menyiapkan insentif untuk pelaku usaha karena adanya kewajiban ekspor melalui bursa berjangka. Misalnya terkait perpajakan, baik Pajak Penghasilan (PPh), maupun di Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta juga biaya transaksi.
Lebih lanjut, Didid menerangkan, saat ini baru ada dua bursa berjangka komoditi yang telah memiliki izin yakni Bursa Berjangka Jakarta (BBJ)/Jakarta Futures Exchange (JFX) dan Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Baca Juga: Pertengahan Februari 2023 Harga CPO Naik, Apa Sih Penyebabnya?
Kemendag menargetkan bursa berjangka untuk CPO mulai efektif pada Juni 2023. Meskipun price discovery-nya akan muncul sekitar 1 bulan atau 2 bulan setelah diterapkan.
"Harapannya akhir tahun ini kita sudah memiliki price reference untuk CPO, namun mencapai price reference itu kita harus pastikan CPO itu masuk bursa (berjangka) di bulan Juni (2023)," kata Didid.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Ayu Almas
Advertisement