- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Pemerintah Didorong Serius Kembangkan Bioethanol sebagai Bahan Bakar Nabati

Pemerintah diharapkan serius dalam mendorong pengembangan bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN), terutama setelah bioethanol ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa.
“Perlu keseriusan Pemerintah. Hal yang utama adalah Pemerintah harus melakukan intervensi pengadaan feedstock (bahan baku),” ujar Fabby dalam keterangannya kepada media, Minggu (26/1).
Menurut Fabby, pengembangan bioethanol menghadapi setidaknya tiga tantangan utama. Pertama, jumlah tanaman sumber bahan baku bioethanol seperti tebu, jagung, sorgum, dan singkong di Indonesia sangat terbatas jika dibandingkan dengan kelapa sawit yang menjadi basis biodiesel.
“Sekarang kita lihat bioethanol. Ethanol itu kan dihasilkan dari tanaman seperti tebu, jagung, sorgum, maupun singkong. Masalahnya, feedstock-nya tidak cukup. Gula saja masih impor kok. Sedangkan untuk ethanol, yang diambil molasenya, juga enggak cukup dengan bahan baku yang ada,” jelas Fabby.
Tantangan kedua adalah standar kualitas ethanol yang dibutuhkan sebagai bahan bakar, yakni ethanol dengan kadar 99 persen atau fuel grade. Fabby menilai hal ini membutuhkan dukungan serius dari Pemerintah.
Baca Juga: Demi Dorong Transisi Energi, Harga Bioethanol Harus Terjangkau
“Meski bukan hal sulit dipelajari, menghasilkan ethanol fuel grade tetap membutuhkan intervensi Pemerintah,” tambahnya.
Adapun tantangan ketiga berkaitan dengan harga. Harga ethanol di pasar internasional cenderung lebih tinggi dibandingkan harga minyak karena ethanol juga digunakan sebagai bahan baku untuk industri dan pangan.
Fabby juga menyoroti perbedaan mendasar dalam dukungan pembiayaan antara bioethanol dan biodiesel. Pada biodiesel, keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memungkinkan subsidi harga yang dihimpun dari pengusaha kelapa sawit. Namun, bioethanol tidak memiliki mekanisme serupa.
“Kalau tetap mau mengembangkan bioethanol dengan harga terjangkau, Pemerintah harus siap-siap (menggunakan APBN untuk subsidi),” tegas Fabby.
Baca Juga: Pembangunan Pabrik Bioethanol, Dinilai Jadi Langkah Penting PNRE
Sejalan dengan Fabby, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif Pemerintah, khususnya dalam penyediaan bahan baku bioethanol dalam skala besar.
“Kita bisa enggak membangun lahan perkebunan singkong atau tebu yang luasannya bisa menghasilkan bahan mentah (ethanol) berharga murah?” kata Marwan.
Marwan menambahkan bahwa pengembangan bioethanol membutuhkan langkah serius, seperti yang dilakukan pada biodiesel. Saat ini, biodiesel didukung oleh perkebunan kelapa sawit yang luasnya mencapai 16,3 juta hektare dan tersebar di 26 provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Mengenal Minyak Sawit, Minyak Nabati Paling Produktif di Dunia
Baca Juga: Kelapa Sawit, Tanaman Minyak Nabati Paling Hemat Penggunaan Pupuk
“Kalau bioethanol, kebun singkong atau tebu kita dari sisi produksi saat ini tidak akan bisa mengimbangi produksi CPO. Kecuali kalau Pemerintah memang mau intensif menanam singkong atau tebu dengan luas lahan jutaan hektare,” ujar Marwan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement