Mengenang Masa Jaya Sritex, dari Kios Pasar Klewer hingga Sukses Membuat Seragam untuk NATO

Ie Djie Shien atau Haji Mohammad Lukminto, kelahiran 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, adalah sosok di balik berdirinya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Dia adalah sosok yang membangun salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Perjalanan bisnis “Pak Luk” dimulai secara sederhana, namun penuh tekad dan ketekunan. Pada tahun 1966, Lukminto memulai usahanya dengan membuka kios tekstil bernama UD Sri Redjeki di Pasar Klewer, Solo.
Dua tahun kemudian, pada 1968, Lukminto mendirikan pabrik tekstil pertamanya di Semanggi, Solo, yang memproduksi kain mentah dan bahan putih. Langkah ini menjadi fondasi awal bagi Sritex untuk berkembang menjadi perusahaan tekstil terintegrasi. Pada 1978, perusahaan ini resmi berubah nama menjadi PT Sri Rejeki Isman, menandai transformasi dari usaha kecil menjadi entitas bisnis yang lebih terstruktur.
Sritex terus berkembang dengan mendirikan pabrik penenunan pertamanya pada 1982, yang menjadi langkah penting dalam integrasi produksi tekstil. Pada 1990, Sritex berhasil mengintegrasikan seluruh proses produksi, mulai dari pemintalan kapas hingga produk akhir berupa pakaian jadi.
Keberhasilan ini semakin dikuatkan dengan perluasan pabrik pada 1992, yang mampu menampung empat lini produksi sekaligus: pemintalan, penenunan, penyelesaian, dan garmen. Pabrik ini bahkan diresmikan oleh Presiden Soeharto, menandai keberhasilan Sritex dalam merambah pasar domestik dan internasional.
Puncak kejayaan Sritex terjadi pada 1994, ketika perusahaan ini dipercaya memproduksi seragam militer untuk pasukan NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman.
Kepercayaan ini tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses pengujian kualitas yang ketat selama dua tahun. Prestasi ini menjadikan Sritex sebagai pemasok seragam militer untuk lebih dari 30 negara di dunia.
Sritex juga menunjukkan ketangguhannya dengan berhasil melewati krisis moneter Asia pada 1998 tanpa mengalami dampak besar. Kemampuan ini menggambarkan bahwa manajemen mereka solid dan memiliki strategi bisnis yang adaptif.
Pada 2013, Sritex mencapai tonggak penting lainnya dengan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia dengan kode SRIL. Langkah ini menjadi awal ekspansi perusahaan. Namun, sang pendiri berpulang.
Setelah H.M. Lukminto meninggal dunia pada 2014, kepemimpinan perusahaan diteruskan oleh putranya, Iwan Setiawan Lukminto. Di bawah kepemimpinan generasi kedua, Sritex terus melakukan ekspansi, termasuk mengakuisisi PT Primayudha Mandirijaya dan PT Bitratex Industries pada 2018 untuk meningkatkan kapasitas pemintalannya.
Baca Juga: Kisah Rolls-Royce, Dibangun Anak Miskin hingga Sukses Jadi Perusahaan Mobil Mewah
Pada 2020, Sritex turut membantu krisis nasional dengan berperan aktif dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Sebagai produsen tekstil besar, Sritex mendistribusikan 45 juta masker hanya dalam waktu tiga minggu.
Namun, perjalanan gemilang Sritex arus meredup. Pada 2021, perusahaan menghadapi masalah keuangan dengan utang mencapai hampir Rp15 triliun, yang berdampak pada kinerja finansialnya.
Pada 2023, terjadi perombakan dalam jajaran komisaris dan direksi, dengan Iwan Kurniawan Lukminto ditunjuk sebagai Presiden Direktur baru, sementara Iwan Setiawan Lukminto menjadi Komisaris Utama.
Tantangan terberat datang pada Oktober 2024, ketika Pengadilan Negeri Semarang menyatakan Sritex dalam kondisi pailit. Kini, di Maret 2025, Sritex terpaksa mem-PHK 10 ribu karyawan dan masih terus menghadapi nasib yang tidak pasti.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement