Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kedokteran Asuransi, Pintu bagi Dokter untuk Perkuat Sistem Kesehatan Indonesia

Kedokteran Asuransi, Pintu bagi Dokter untuk Perkuat Sistem Kesehatan Indonesia Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah inflasi medis yang menanjak, potensi defisit dana jaminan sosial, dan sengketa klaim yang berulang, sistem kesehatan Indonesia dinilai berjalan rapuh.

Di satu sisi, ada tuntutan idealisme medis untuk memberikan pelayanan terbaik. Di sisi lain, ada realitas kalkulasi biaya yang kian terbatas. 

Inflasi medis yang tinggi, ancaman defisit BPJS Kesehatan, dan sengketa klaim yang berulang adalah bukti nyata ketegangan ini. Dalam kondisi demikian, sebuah disiplin ilmu yang selama ini kurang dikenal publik hadir sebagai penjaga keseimbangan, yaitu kedokteran asuransi (insurance medicine).

Krisis biaya kesehatan, ketimpangan layanan, dan kebocoran klaim menandakan perlunya tata kelola pembiayaan berbasis ilmu kedokteran, bukan sekadar rumus aktuaria. Kedokteran asuransi hadir bukan untuk memilih antara sisi medis atau finansial, tetapi menjembatani keduanya agar sistem jaminan sosial dan industri asuransi kembali sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Menurut Ketua Pengurus Pusat PERDOKJASI, Marsma TNI (Purn) Dr. dr. Wawan Mulyawan, SpBS, Subsp.N-TB, SpKP, AAK, kedokteran asuransi adalah sebuah evolusi logis dari profesi dokter. 

"Selama ini, sistem pembiayaan kesehatan dipimpin oleh logika biaya, bukan logika klinis. Padahal mutu layanan dan keberlanjutan keuangan tidak bisa dipisahkan. Kedokteran asuransi berbasis bukti mengembalikan peran dokter sebagai gatekeeper sekaligus policy advisor," tegasnya.

Dr. Wawan menekankan bahwa tanpa peran aktif dokter dalam merancang manfaat, mengendalikan klaim, dan mengevaluasi risiko, sistem jaminan sosial akan terus menjadi arena tarik-menarik antara pihak pembayar (asuransi/BPJS) dan penyedia layanan (rumah sakit/dokter). 

Untuk itu, dibutuhkan suatu badan seperti Insurance Medicine Council yang bertugas menjaga keseimbangan antara hak peserta, keberlanjutan dana, dan tanggung jawab profesional dokter.

Baca Juga: Teknologi Artificial Intelligence (AI) Bantu Tingkatkan Produktivtas Agen Asuransi

Dari perspektif industri, dr. Emira E. Oepangat, FLMI, CFP, AEP, AAAIJ, AAAK, selaku Ketua Panitia FORESIGHT PERDOKJASI 2025, melihat kedokteran asuransi sebagai jembatan yang vital.

"Kita bicara financial sustainability, tapi bagaimana bisa berkelanjutan kalau analisis risiko tidak didukung data klinis? Dokter dan aktuaria harus duduk di meja yang sama," ujarnya.

dr. Emira, yang juga Country Director Indonesia LOMA LIMRA International, menyoroti inflasi medis yang mencapai 13-15% per tahun, dimana penyakit kronis seperti gagal ginjal dan jantung menyedot hampir separuh dari total klaim BPJS. Jika dibiarkan, tren ini akan memaksa perusahaan untuk memangkas manfaat dan peserta JKN-KIS akan menghadapi antrean yang semakin panjang.

"Kedokteran asuransi membangun health-financing intelligence, kecerdasan pembiayaan untuk mencegah kebocoran klaim dan melindungi peserta," jelasnya. 

Ia menegaskan, pandangan yang melihat kesehatan sebagai beban biaya adalah blind spot kebijakan yang berbahaya. Seharusnya, kesehatan dipandang sebagai aset finansial bangsa yang menentukan produktivitas dan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Indonesia tidak perlu mulai dari nol. Dr. Wawan mencontohkan negara seperti Swiss, Belanda, dan Swedia, di mana kedokteran asuransi telah terintegrasi dalam sistem jaminan sosial melalui evidence-based decision making. 

“Sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak itu. Dokter tak boleh hanya pelaksana klaim, tapi juga perancang sistem yang berkeadilan,” ujarnya.

dr. Emira menilai kunci masa depan ada pada integrasi digital dan transparansi data. “Kita punya peluang emas membangun Health Insurance Intelligence Hub, platform data bersama antara dokter, aktuaria, dan regulator. Itulah masa depan kedokteran asuransi Indonesia,” tegasnya.

University of Basel di Swiss, misalnya, memiliki program Master of Advanced Studies in Insurance Medicine untuk melatih dokter menjadi penilai kebijakan.

"Indonesia harus berani membangun ekosistem serupa. Tanpa dokter yang memahami pembiayaan dan risiko, sistem jaminan sosial akan terus sibuk memadamkan api tanpa tahu dari mana sumber asapnya," seru dr. Wawan.

Sementara itu, dr. Emira melihat kunci masa depan terletak pada integrasi digital dan transparansi data. “Kita butuh tata kelola kesehatan berbasis bukti, data, dan integritas profesi bukan kepentingan sektoral,” ujar dr. Emira.

Baca Juga: Mengurangi Risiko: Microsegmentasi Respon Insiden yang Lebih Cepat dan Premi Asuransi yang Lebih Rendah Bagi Organisasi

Pada intinya, kedokteran asuransi bukanlah tentang keberpihakan pada industri atau BPJS, melainkan pada keseimbangan sistem secara keseluruhan. PERDOKJASI kini tengah membentuk Medical Advisory Board lintas profesi untuk memberikan rekomendasi ilmiah dalam kebijakan klaim, tarif, dan desain manfaat.

Dalam struktur besar sistem kesehatan nasional, kedokteran asuransi berpotensi menjadi pilar ketiga, setelah pilar pelayanan dan pilar pembiayaan, yang memastikan setiap keputusan medis sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan fiskal.

Seperti disimpulkan dr. Wawan, "Kesehatan yang berkeadilan tak mungkin dicapai tanpa pembiayaan yang sehat. Dan pembiayaan yang sehat tak akan bertahan tanpa dokter yang memahami sains di baliknya.". Kedokteran asuransi adalah jawaban atas tantangan itu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: