Terkait Beban Subsidi Energi, PKS: Presiden Jokowi Semestinya Tidak Boleh Mengeluh
Presiden Jokowi blak-blakan mengatakan manuver pemerintah untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) relatif berat dilakukan di tengah harga minyak mentah dunia yang masih tertahan tinggi hingga pertengahan tahun ini. Sementara, sebagian besar negara sudah menyesuaikan harga BBM mereka mengikuti tren pasar dunia.
Menanggapi hal tersebut, Mulyanto yang Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS menilai, bahwa Presiden tidak seharusnya curhat dan mengeluh seperti itu. Karena tugas negara memang seperti itu.
Baca Juga: Mulyanto: Menperin Jangan Takut Ancaman Pengusaha Migor
Sesuai dengan amanat Pembukaan UUD tahun 1945, tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
Negara hadir menjadi buffer shock atau shock breaker, yakni bantalan bagi masyarakat dari turbulensi ekonomi global sehingga kejutan ekonomi yang menghantam dari luar dapat diredam agar tidak membuat masyarakat menjadi susah.
Baca Juga: Jaga Stabilitas Ekonomi, Kebijakan Menambah Subsidi BBM Pilihan Tepat
Terkait lonjakan harga BBM, akibat Perang Rusia-Ukraina, menurut Mulyanto, seluruh negara-negara di dunia potensial menerima akibat turbulenesi harga minyak global yang sama. Akan tetapi, ada perbedaan substansial terhadap harga BBM di antara negara-negara tersebut. Secara umum bergantung pada daya beli masyarakat.
Negara kaya memiliki harga BBM yang lebih tinggi dibandingkan negara yang lebih miskin. Negara yang memproduksi dan mengekspor minyak, menjual minyak dengan harga rendah secara domestik.
Perbedaan harga minyak di masing-masing negara, tergantung pada variasi besaran pajak dan subsidi domestik untuk komoditas ini. Tergantung bagaimana sikap Pemerintah mereka terkait dengan kebijakan pajak dan subsidi.
"Ambil contoh negara serumpun seperti Brunei dan Malaysia menjual BBM dengan harga yang jauh lebih murah dibanding Indonesia. Harga bensin dengan RON 90 di Brunei sebesar Rp3.800,- per liter. Sementara harga bensin dengan RON 95 di Malaysia dijual sebesar Rp6.900 per liter. Di kita bensin Pertalite (RON 90) dijual dengan harga Rp7.650,- per liter," jelas Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (26/5/2022).
Baca Juga: Mulyanto: Kasus Migor Ini Layak Disebut sebagai Kejahatan Korporasi
Fakta lain, lanjut Mulyanto, lonjakan harga migas dunia ternyata diikuti dengan kenaikan harga SDA yang menjadi andalan ekspor Indonesia seperti batubara, gas alam, CPO, tembaga, nikel, dan lainnya. "Akibatnya, turbulensi ekonomi global ini malah membawa berkah bagi surplus perdagangan kita dan memperkuat penerimaan APBN kita," imbuhnya.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo saat acara Evaluasi Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, Jakarta, Selasa (24/5/2022) mengatakan harga BBM domestik seperti Pertalite dan Pertamax yang masing-masing sebesar Rp7.650 dan Rp12.500 jauh lebih murah ketimbang negara lain. Misalkan, dia mencontohkan, harga BBM di Singapura sudah mencapai Rp32.000, Jerman di angka Rp31.000 dan Thailand sebesar Rp20.000.
Baca Juga: PKS Prihatin Ada Dirjen Jadi Kaki Tangan Mafia Migor, Mulyanto: Kita Tidak Menyangka
Ia menambahkan, bahwa Indonesia berusaha menahan terus, namun angka subsidi tersebut terus membesar. Sampai kapan kita bisa menahan tekanan ini. Menurutnya menahan harga BBM yang tinggi itu berat.
Sebagai informasi, naiknya harga SDA dan komoditas energi menyebabkan surplus perdagangan kita. Penerimaan Bea Keluar mencapai Rp10,70 trilliun atau tumbuh sebesar 132,22 persen (yoy) didorong tingginya harga komoditas CPO dan meningkatnya volume ekspor tembaga. Kinerja PNBP sampai dengan Maret 2022 mencapai Rp99,1 triliun, meningkat didorong oleh Pendapatan Sumber Daya Alam (SDA). Pendapatan SDA Migas tumbuh 113, 2 persen (yoy) didukung kenaikan ICP, sementara SDA non-migas tumbuh 70,3 persen didukung kenaikan harga minerba.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas