Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pemerintah dan Korporasi Dinilai Tak Serius Restorasi Gambut

        Pemerintah dan Korporasi Dinilai Tak Serius Restorasi Gambut Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pantau Gambut menilai jika pemerintah maupun korporasi di Indonesia kurang serius dalam merestorasi gambut. Hal ini dikarenakan banyak infrastruktur restorasi gambut yang tidak sesuai dengan standar.

        Berdasarkan laporan Pantau Gambut bertajuk "Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya", Data Analis Pantau Gambut, Almi Ramadhi menjelaskan banyak temuan infrastruktur pembasahan seperti sekat kanal dan sumur bor yang rusak.

        “Di beberapa sampel titik pengamatan juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar tinggi muka air tanah (TMAT) agar tidak lebih dari 40 centimeter,” jelasnya, dalam keterangan tertulis Kamis (1/8/2024).

        Pantau Gambut, dalam studi tersebut memantau restorasi gambut pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi di Indonesia yakni Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Kalimantan Timur dan Papua Barat.

        Ada dua jenis lokasi studi yang dibedakan. Pertama adalah area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Sedangkan kedua adalah area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.

        Tercatat sekitar 95% dari total 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon (tree cover loss/TCL) telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar. Dalam konteks tersebut, sawit menjadi komoditas yang paling dominan.

        Baca Juga: Sinergikan Pertanian Holtikultura dan Pengelolaan Lahan Gambut, Kilang Pertamina Majukan Masyarakat

        “Yang menyedihkan, penutupan lahan menjadi hutan tidak mendapatkan perhatian karena hanya ditemukan pada tiga persen area sampel,” kata Almi.

        Kondisi yang jaug memprihatinkan, ucap Almi, ditemukan pada area konsensi perusahaan. Dikatakan hanya satu persen dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar serta mengalami kehilangan tutupan pohon.

        Ironisnya, Alma menjelaskan jika kondisi tersebut terjadi di beberapa area yang kerap mempunyai masalah konflik sosial seperti PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Sumatera Selatan dan PT Mayawana Persana (MP) di Kalimantan Barat.

        Dalam keterangan yang sama, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, mengungkapkan jika pemerintah dan perusahaan bertanggung jawab serta wajib melakukan pencegahan, penanganan saat kebakaran hingga pemulihan area yang telah terbakar. Bukannya malah dilimpahkan kepada masyarakat.

        Kewajiban untuk mengembalikan lahan gambut yang rusak kembali menjadi hutan, kata Wahyu, mengacu pada PP Nomor 57 Tahun 2016 juncto PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

        “Semua temuan yang ada pun berkontradiksi dengan klaim keberhasilan pemerintah Indonesia dalam merestorasi gambut seperti yang dijelaskan pada dokumen The State of Indonesia’s Forest 2024 yang baru dirilis KLHK pada 20 Juli 2024,” urai dia.

        Selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Wahyu menilai jika restorasi gambut menjadi sebuah ujian dalam upaya perlindungan lingkungan.

        Klaim keberhasilan menurutnya tidak hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek saja, akan tetapi juga harus sungguh-sungguh memperhatikan dampak kepada sebanyak-banyaknya pihak.

        “Jangan sampai klaim keberhasilan ini hanya menjadi alat pencitraan pada komitmen global,” tutur Wahyu.

        Dia menjelaskan jika kontradiksi antara klaim dengan temuan di lapangan, menjadi suatu indikasi serta bukti makin tebalnya kesenjangan antara kebijakan restorasi dengan realitas implementasi strategi perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.

        Baca Juga: Kilang Sungai Pakning Kembangkan Eduwisata Lebah Madu Hutan Gambut

        Atas dasar hal tersebut, Pantau Gambut merekomendasikan lima hal.

        Pertama, pemerintah harus memenuhi asas tanggung jawab negara. Sedangkan kedua pemerintah melakukan pencegahan sebagai upaya penegakan hukum. Adapun langkah penegakan hukum harus menjadi prioritas utama tanpa perlu menunggu terjadinya karhutla terlebih dahulu.

        Rekomendasi ketiga adalah korporasi wajib bertanggung jawab mutlak pada area konsesinya. Pantau Gambut mendesak korporasi harus segera menangani kerusakan ekosistem gambut sesuai standar yang berlaku. Hal tersebut mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh.

        Lebih lanjut, rekomendasi keempat adalah korporasi wajib membuktikan klaim keberlanjutan secara berkala dan transparan. Klaim keberlanjutan tidak bisa hanya diukur berdasarkan angka pelaksanaan proyek maupun sertifikasi keberlanjutan semata.

        “Kelima, lembaga pembiayaan harus mengetatkan audit lingkungan. Lembaga pembiayaan harus membatasi perusahaan yang tercatat pernah melakukan perusakan ekosistem gambut. Audit lingkungan yang ketat harus dilakukan sebelum perusahaan dapat mengakses pembiayaan baru,” ungkap Wahyu.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: