Industri telekomunikasi tengah memanen durian runtuh di tengah pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, sektor bisnis tersebut mendapat berkah sejak maraknya aktivitas belajar dari rumah, bekerja dari rumah (work from home), dan beribadah dari rumah.
Tren ini terjadi ketika pemerintah menerapkan pembatasan sosial dan menganjurkan masyarakat banyak melakukan aktivitas dari rumah. Dengan demikian, pandemi Covid-19 telah memaksa terminologi normal baru bagi masyarakat di Indonesia, yang menciptakan paradigma baru dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari pekerjaan dan kegiatan rekreasi, hingga aktivitas pembelajaran.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Ping An, Asuransi Kebanggaan China
Di dalam negeri, pandemi Covid-19 pada gilirannya meningkatkan aktivitas penggunaan internet oleh masyarakat. Kegiatan yang ramai-ramai dilakukan itu nyatanya berdampak pada lonjakan trafik data internet sebesar 10 sampai 30 persen. Peningkatan lalu lintas internet paling besar untuk aplikasi belajar daring (online) dan aplikasi layanan video-conference untuk melakukan rapat daring.
Lonjakan lalu lintas data secara tiba-tiba membuat pemain industri telekomunikasi sendiri perlu memastikan pemantauan lalu lintas yang efisien. Optimalisasi kinerja jaringan telekomunikasi menjadi fokus utama bisnis telekomunikasi, sedangkan analisis, prediksi, serta pengaturan terkait pola pengiriman data yang dikirimkan melalui jaringan menjadi semakin penting.
Kekebalan bisnis teknologi informasi dan komunikasi ini diamini oleh ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jawa Barat, dikutip Warta Ekonomi dari Antara. Acuviarta Kartabi mengatakan sektor telekomunikasi tumbuh sebesar 9,81 persen.
Hal itu sejalan dengan kinerja positif PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Persero). BUMN tersebut sukses mencatat pertumbuhan lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dengan membukukan laba bersih Rp18,66 triliun pada 2019. Rinciannya, pendapatan bisnis seluler dan pendapatan IndiHome menanjak naik masing-masing 23,1 persen dan 28,1 persen.
Sementara itu di mancanegara, International Finance Corporation (IFC) melaporkan banyak operator seluler hingga pusat data (data center) di global mencatatkan lonjakan pada lalu lintas datanya, hingga pertengahan 2020. Alhasil, sektor telekomunikasi berkinerja baik dibanding sektor lainnya.
Meski begitu, bisnis sektor telekomunikasi masih tak dapat dipisahkan dari gangguan-gangguan jangka pendek dan menengah. Elemen itu meliputi dampak ekonomi makro umum dan pembatasan distribusi waktu siar.
Sebagai contoh, raksasa telekomunikasi dunia asal Amerika Serikat (AS), AT&T Inc., terpantau memiliki kinerja relatif stabil. Pendapatan perusahaan multinasional AS itu meningkat 6,1 persen sebesar 181,2 juta dolar AS, tetapi laba bersihnya turun 28 persen yaitu 13,9 juta dolar AS, pada 2020. Kondisi tersebut dipengaruhi berbagai situasi di antaranya biaya merger, biaya peniun karyawan, dan perubahan nilai beberapa aset.
AT&T memang tidak mencatatkan kinerja sempurna di saat kondisi dunia dilanda pandemi virus corona. Tapi, dengan hasil tersebut, posisi perusahaan raksasa itu rupanya masih naik tiga peringkat dari nomor 25 ke urutan 22 pada 2020.
Dengan gambaran di atas, menarik kiranya jika Warta Ekonomi kali ini, Senin (7/9/2020), mengulas perjalanan AT&T sebagai raksasa telekomunikasi dunia. Dikutip dan diolah dari berbagai sumber, kami sajikan uraian tersebut menjadi artikel sebagai berikut.
Rekam jejak raksasa telekomunikasi dunia, American Telephon and Telegraph Company atau pendeknya AT&T, bisa dilacak ketika telepon pertama kali ditemukan oleh Alexander Graham Bell pada 1876. Bell kemudian mendirikan Bell Telephone Company bersama Gardiner C. Hubbard dan Thomas Sanders setelah Bell mendapatkan paten pada perangkat ciptaannya sejak 1877.
Tahun berikutnya, perusahaan Bell terlibat dalam persaingan dengan perusahaan telegraf terkemuka, Western Union Company, untuk mengembangkan layanan telepon di AS. Manajer umum di perusahaan Bell, Theodore N. Vail mewakili perusahaannya untuk memimpin pertarungan hak paten dengan rivalnya itu.
Dewi Fortuna memihak Bell. Western Union yang saat itu terlibat dalam sengketa kendali dengan Vanderbilt dan Jay Gould, akhirnya setuju menyerahkan semua paten dan klaim untuk telepon dan fasilitasnya kepada Bell dan rekannya. Gugatan paten itu diselesaikan di luar pengadilan pada 1879. Western Union meninggalkan bisnis telepon dan menjual sistem 56.000 telepon di 55 kota ke Bell.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: