Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dede: Paket INA CBGs Perlu Dievaluasi dengan Perhatikan Inflasi

Warta Ekonomi -

WE Online, Bandarlampung - Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf meminta pemerintah segera mengkaji ulang paket INA-CBG's (Indonesian Case Base Groups) untuk memperbaiki pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus untuk menjadi pendorong bagi rumah sakit swasta untuk mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

"Paket INA CBGs perlu segera dievaluasi dengan memperhatikan faktor inflasi, nilai tukar rupiah dan faktor lainnya yang berkaitan," katanya saat dihubungi dari Bandarlampung, Selasa (12/5/2015).

Paket INA CBGs umumnya diartikan sistem pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis atau kasus yang hampir sama. Dede Yusuf menyebutkan telah berkunjung ke sejumlah rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, dan ternyata pelayanan yang didapatkan masyarakat belum seperti yang diharapkan.

Selain itu, ada jenis-jenis penyakit tertentu yang belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan. "Karenanya, Kemenkes sudah seharusnya melakukan pengkajian ulang paket INA CBGs secara teratur," katanya. Ia menyebutkan pengkajian ulang paket INA CBGs itu juga akan menjadi daya tarik bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang lebih baik baik.

"Dengan paket INA CBGs sekarang ini, rumah sakit swasta tentu mengutamakan pasien umum karena nilai klaim pengobatannya lebih besar, sedang terhadap peserta BPJS diberikan kuota. Karenanya, paket INA CBGs harus dikaji ulang secara periodik," katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PPP Okky Asokawati juga meminta pemerintah segera melakukan evaluasi setiap satu semester sekali terhadap paket INA-CBG's (Indonesian Case Base Groups), yaitu sebuah sistem pembayaran dengan sistem paket berdasarkan penyakit yang diderita pasien.

"Karena dalam praktiknya, sudah enam bulan lebih belum dilakukan reevaluasi. Dengan evaluasi paket INA-CBG's tentu akan menyesuaikan harga sesuai inflasi dan nilai tukar rupiah," katanya.

Ia juga menyebutkan RS swasta membiayai sendiri operasionalnya, sedang biaya RS pemerintah mendapat bantuan dari pemerintah. "Dengan cara ini (evaluasi) tentu akan memudahkan bagi RS swasta untuk menampung pasien peserta KIS/BPJS, karena memang tidak mendapat subsidi dari pemerintah," katanya.

Sementara Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan bahwa hingga 31 Desember 2014 pendapatan iuran mencapai Rp40,72 triliun yang bersumber dari pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja, serta kelompok peserta bukan penerima upah.

Sementara realisasi biaya manfaat berupa biaya pelayanan kesehatan perorangan, kata dia, meliputi biaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sampai dengan 31 Desember 2014 mencapai Rp42,65 triliun.

"Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah melakukan pembayaran kapitasi sebesar Rp8,34 triliun kepada 18.437 fasilitas kesehatan tingkat pertama dilakukan secara tepat waktu, yakni tanggal 15 setiap bulan," katanya.

Selain itu, sebesar Rp34,31 triliun untuk membayar 1.681 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit dengan waktu pembayaran klaim rata-rata 13 hari atau lebih cepat dari ketentuan undang-undang maksimal 15 hari.

"Biaya manfaat tersebut untuk membayar sebanyak 6,17 juta kunjungan pasien rawat jalan tingkat pertama di puskesmas, dokter praktik perorangan, dan klinik pratama atau swasta. Kemudian, sebanyak 511.475 kasus rawat inap tingkat pertama di FKTP serta 21,3 juta kunjungan pasien rawat jalan tingkat lanjutan dan sebanyak 4,2 juta kasus rawat inap tingkat lanjutan," katanya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Achmad Fauzi

Advertisement

Bagikan Artikel: