Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Blak-blakan Sang Menag, dari Isu Celana Cingkrang hingga Imam Besar FPI

Blak-blakan Sang Menag, dari Isu Celana Cingkrang hingga Imam Besar FPI Kredit Foto: Antara/Antara

Baru-baru ini, sebuah sekolah di Yogyakarta, sejumlah anak pramuka diajarkan menyerukan yel-yel "Islam Yes, Kafir No". Apa ini tanda bahwa intoleransi sudah menyusup ke sekolah dan bahkan menyasar anak-anak?

 

Kalau dibilang menyusup mungkin enggak karena kita punya sekolah banyak. Ada ratusan ribu, bahkan jutaan, enggak bisa kita generalisasikan.

Tapi menurut saya bagaimanapun itu sudah pasti salah. Islam tidak mengajarkan kita eksklusif kok, Islam mengajarkan kita berbaur satu sama lain.

Jadi kalau ditanya komen saya, itu salah. Nanti sekolah mana itu pasti akan kita kirim orang ke sana untuk mengklarifikasi.

Maarif Institut mengatakan aktivitas di sekolah setelah jam belajar-mengajar kerap disusupi paham intoleransi, bahkan radikalisme. Kondisi ini apa sudah bisa disebut mengkhawatirkan?

Mengkhawatirkan tidak, tapi perlu kita waspadai. Jadi setiap ada hal-hal seperti itu langsung kita turun tangan.

Itu sebabnya kita punya jalur yang panjang sekali ke bawah, kami punya hampir 260.000 orang di Kementerian Agama ini. Kami bisa segera menugaskan mereka untuk mendatangi tempat-tempat ini.

Setelah mengklarifikasi, kami kemudian mengajak pemerintah daerah dan tokoh-tokoh agama untuk bersama-sama turun tangan menyelesaikan masalah ini. Tidak ada laporan negatif seperti itu yang kita diamkan.

Apakah Kementerian Agama menemukan juga kasus-kasus intoleransi di sekolah?

Ada, kita langsung turun tangan. Ada yang mengajarkan kebencian, seolah-olah Khilafah itu baik karena dengan Khilafah, semua non-Muslim keluar dari Indonesia.

Itu kan omongan aneh satu-dua manusia saja. Langsung kita datangi dan bilang itu sikap yang bodoh. Islam tidak mengajarkan seperti itu.

Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, menurut data Kementerian Agama, berada di kisaran 70-an atau cukup tinggi. Namun, saat itu dipaparkan indeks itu tidak mempertimbangkan kasus intoleransi. Mengapa?

Oh pasti jadi pertimbangan. Faktornya ada tiga atau empat. Toleransi, kesetaraan, kerja sama. Di situ bisa kita nilai. Kalau toleransinya tidak baik pasti angkanya pasti drop.

Sebelumnya, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Mas'ud mengakui indeks itu tidak mempertimbangkan kasus-kasus intoleransi yang ada.

"Tapi ini kan survei kerukunan, bukan survei konflik umat beragama. Itu yang penting," ujar Mas`ud.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: