Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dibalik Pelarangan TikTok Shop: Menggali Kontroversi dan Dampaknya

Dibalik Pelarangan TikTok Shop: Menggali Kontroversi dan Dampaknya Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K

Menurut Bhima, afiliasi TikTok dengan importir China dapat mengganggu bisnis.  Ia menyatakan bahwa algoritma pengguna media sosial dapat diarahkan untuk mendorong penjual yang terafiliasi dengan TikTok untuk menjual barang dengan harga yang sangat rendah. Hal inilah yang kemudian membuat UMKM lokal melemah karena tidak dapat bersaing. 

“Akhirnya UMKM kecil tidak mungkin bersaing dengan penjual besar," tuturnya.

Baca Juga: Banyak Influencer Bela Tiktok Shop, Pakar: TikTok Harus Lebih Bijak, Jangan Bawa-bawa Presiden

Untuk diketahui, berdasarkan laporan dari Momentum berjudul "E-commerce in Southeast Asia 2023", total Gross Merchandise Values (GMV) atau akumulasi nilai penjualan TikTok Shop pada 2022 mencapai angka Rp 40,1 triliun.

Meski bukan di posisi teratas, yakni masih dikalahkan oleh e-commerce lainnya, penjualan di TikTok kini terus meningkat. Berdasarkan laporan data Shoplus, sebuah tool analisis untuk aplikasi TikTok, sepanjang kuarter 4 tahun 2022, penawaran dan permintaan di e-commerce TikTok mengalami peningkatan.

Jika TikTok Shop terus dibiarkan tanpa kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah dan tentunya akan semakin menggeser UMKM lokal.

Pelarangan Tak Selesaikan Masalah?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai bahwa pelarangan TikTok Shop bukan merupakan solusi yang efektif. Ia membeberkan praktik pemisahan aplikasi, antara TikTok Shop dan TikTok, itu merupakan hal biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utamanya. 

"Regulasi memisahkan media sosial dengan TikTok Shop itu regulasi yang tidak bertaji karena pada akhirnya algoritma di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial," ujar Huda dikutip dari Republika, Selasa (26/9/2023).

Huda justru berharap pemerintah seharusnya mendorong TikTok untuk menjadi platform e-commerce. Hal ini lantaran, praktik social commerce sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010-an. 

Berdasarkan data BPS, Hunga mengungkap bahwa ada empat platform yang paling sering digunakan UMKM untuk berjualan secara online, yakni meliputi, instant messenger, media sosial, e-commerce atau pasar, dan website. Hal ini berarti, media sosial memainkan peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM, dengan urutan kedua tertinggi. 

"Jadi jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah," ucap Huda.

Menurut Huda, untuk menciptakan level playing field yang setara, pemerintah seharusnya mengatur social commerce agar setara dengan e-commerce atau pedagang luring. Selain itu, pemerintah juga dapat  melindungi produk lokal dengan memperketat impor, memberikan insentif untuk produk lokal, dan memperketat impor.

Baca Juga: TikTok Shop Dilarang, Pedagang Tanah Abang Full Senyum Usahanya Bisa Bangkit Lagi

"Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," tutup Huda.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Aldi Ginastiar

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: